TMA! 35

8.6K 915 94
                                    

Lorong koridor gelap, membuat cahaya lampu yang keluar dari celah kamar yang Lily tempati menyeruak keluar. Arcy menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Oris, tempat lilin yang jadi naungan merah itu berada di genggaman tangan Arcy. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kunci tunggal dari dalam sana.

Namun saat hendak memasukkan kunci tersebut ke pintu di hadapannya, tubuh Arcy tertahan, selama beberapa detik tubuhnya tak bergerak, sampai akhirnya Arcy memutar knop bulat pada pintu kamar di depannya. Sekali lagi, tubuh Arcy mematung saat mengetahui kalau pintu yang biasa ia kunci itu langsung terbuka. Tak ada Oris yang biasanya terbaring kaku di atas ranjang, ruangan itu kosong, tanpa seorangpun di dalamnya selain patung-patung serta lentera dan lilin yang beberapa sudah meleleh habis.

Wajah Arcy tak memasang ekspresi apapun, ia menghela nafas pelan, lalu menaruh lilin yang di pegangnya ke atas laci.

"... Sudah matipun kau bisa pergi, Oris."

TMA!

Embun pagi yang belum terbakar matahari seolah menjelma menjadi kabut asap yang samar di sepanjang jalan yang Arcy lewati. Pria itu memacu mobilnya dengan kencang, untuk pertama kalinya setelah dua tahun, ia kembali mengunjungi kediaman Josseph, ayah angkatnya.

Begitu mobil Arcy sampai di halaman rumah, pintu kediaman Josseph juga terbuka seolah kedatangannya memang sudah di nantikan. Arcy terdiam di dalam mobilnya, sedangkan Josseph menuruni anak tangga teras, menghampiri Arcy yang masih mengurung diri.

"... Keluar, kau datang untuk Oris, bukan?"

Suara berat yang berasal dari luar mobil itu membuat Arcy bungkam, sempat berlalu beberapa menit sebelum akhirnya suara pintu yang dibuka membawa tubuh Arcy keluar, "kenapa ayah membawa Oris?" pertanyaan dingin milik Arcy mengalahkan sejuk embun yang menusuk.

"... Lantas kenapa kau membunuh anak-anakku?" pertanyaan yang terlontar dari Josseph saat ini terdengar berbeda, wajah keriputnya yang selalu memasang senyum kalau bertemu Arcy, tak tampak hari ini, hanya ada wajah kesal yang berhasil Arcy tangkap.

"Anak-anak ...? memangnya, Jakson meminum anggur itu?"

Plak!

Sebuah tamparan kuat melayangkan pipi kanan Arcy, ia diam dengan posisi tertamparnya, "aku memberikanmu hak lebih dari yang lain karena sepertinya kau memiliki kepintaran di atas rata-rata dibandingkan yang lain, tapi bukan berarti kau punya kuasa penuh akan diriku!" nada bicara Josseph meninggi, "aku membesarkan anak-anak itu dengan susah payah, aku mengumpulkan mereka dari berbagai tempat, kau seharusnya ingat kalau statusmu sebelum bertemu aku juga seperti itu! entah jadi apa kau kalau aku tidak memungutmu kala itu, anak setan!"

Arcy tak menjawab, perlahan ia membetulkan kepalanya untuk kembali menatap Josseph, "... Memangnya, hak lebih seperti apa yang ayah berikan untukku?" gumam Arcy, "setahuku, ayah cuma memberiku beban supaya banyak menghasilkan uang untuk menghidupi anak ayah yang lain, jadi aku rasa ... Wajar saja aku membunuh mereka mengingat mereka hidup itu dari uang yang aku berikan pada ayah."

"Kau---"

"Kau apa, ayah? lagipula, tidak masuk akal jika ayah menuduhku membunuh semuanya, aku memberikan anggur itu pada Jakson, bukan pada masing-masing anakmu. Jadi, walau mau dilihat dari sudut pandang manapun, kau dan Jakson lah yang sudah membunuh mereka, kau juga membunuh Malik, temanku, dari pada seorang ayah kau lebih tepat di panggil orang gila yang terobsesi untuk mengontrol orang lain."

"Tutup mulutmu!" geram Josseph, ia kembali menampar wajah Arcy dengan keras, "ternyata asumsiku dengan menganggap kau jenius itu salah, aku melupakan fakta kalau jenius dan sinting itu hanya beda tipis."

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang