TMA! 27

8.6K 1K 175
                                    

Angin malam yang disertai gelegar petir sudah mereda, digantikan pekatnya embun yang mulai menyelimuti hitam malam tanpa rembulan yang menusuk dingin. Menelan hangat aliran darah yang mengalir diantara serat daging. Arcy turun dari mobil, matanya mengunci sosok Warren yang duduk disalah satu anak tangga teras rumahnya. Tak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan Arcy. Ia berjalan masuk, lalu berhenti tepat dihadapan sosok Warren yang memandangnya dengan tatapan muak.

"Langsung saja, Warren. Kalau ada yang ingin kau sampaikan ... Aku lelah, hari sudah hampir pagi, dan aku ingin tidur," ucap Arcy.

Sempat hening selama beberapa saat sebelum Warren menjawab, pria gempal itu bangkit dari duduknya, menciptakan perbedaan cukup signifikan diantara tingginya dan Arcy, "kau darimana?"

Arcy tak langsung menjawab, retina abunya yang tampak kelam menatap wajah Warren dengan saksama, "bukan urusanmu ..." Jawabnya lalu melangkah naik, meninggalkan Warren tanpa menjawab pertanyaan pria tersebut terlebih dahulu.

"Aku tidak akan mengurusnya jika hidupmu hanya berkaitan dengan dirimu, meski itu tentang kau yang memindahkan bola mata Oris ke matamu, tapi ..." Warren membalik tubuhnya, perkataannya barusan membuat langkah Arcy tertahan, "jika sudah melibatkan orang luar, apalagi jika itu wanita. Maka aku akan ikut campur, Arcy ... Selama ini, aku selalu penasaran dengan caramu menjalani hidup. Dan ternyata, rasa penasaranku itu berbuah tak baik."

"Apa maksudmu?" Arcy menoleh kebelakang.

Warren berjalan untuk menghampiri sosok Arcy, "mayat-mayat di gudang semenmu, sudah membusuk semuanya ... Wanita yang kau rantai juga---"

Arcy tertawa kecil saat mendengar perkataan Warren, "Warren, kau tahu ... Perasaanku sekarang sedang tidak baik, jika kau datang ke sini hanya untuk mengatakan hal itu, maka lebih baik aku masuk ke dalam dan tidur." Dalam sekejap wajah Arcy sudah kembali kehilangan ekspresinya, ia mendelik Warren dengan tajam.

"Lakukanlah hal yang menyenangkan untuk menjalani hidup, mendapatkan uang dan kepuasan perasaan kalian. Selama itu tidak membahayakan nyawa saudara dan kalian sendiri, maka semuanya boleh ..." Arcy menyeringai samar, "ayah pernah berkata seperti itu di tahun 1999, kau mungkin lupa ya, Warren ..."

Warren tak menjawab, hal itu membuat Arcy berjalan masuk. Meninggalkan dirinya bersama hitam malam yang pekat. Ia tertegun, mengingat-ingat apa benar Ayah mereka pernah berkata begitu.

Tak berselang lama, Warren menghela nafas kasar, niatnya untuk menekan Arcy sama sekali tak berhasil.

"Benar-benar sakit jiwa ..."

TMA!

H

ari berselimut biru samar, matahari belum muncul ke permukaan bumi, tapi sebuah mobil sudah berkunjung ke halaman rumah Malik. Seorang pria tua keluar dari dalam mobil lalu berjalan menuju teras dengan sebuah tongkat kayu mahoni di tangan kirinya.

"Malik!" seru pria itu terdengar marah.

"Malik!"

Hanya berselang beberapa detik, Malik muncul dari arah samping rumahnya, memakai perlengkapan berkebun meski pagi belum menjelma sepenuhnya.

"Ayah?" bingungnya, ekspresinya memasang tanda tanya besar, kenapa pria setengah baya itu datang sepagi ini kerumahnya. Tanpa menjawab, pria tua yang dikenal sebagai Ayah itu berjalan menghampiri Malik lalu mendaratkan sebuah tamparan di pipi kanan Malik.

"Sudah aku katakan untuk tidak mengusik Arcy! tapi kau masih saja melakukannya, Malik."

Malik tak menjawab, ia mematung dengan posisi tertamparnya, "kau boleh saja marah atau gila sekalipun, aku tidak akan peduli, tapi bukan berarti kau boleh mengabaikan perkataanku!"

Malik tertawa berat, perlahan ia mengangkat kepalanya, dengan cepat sinar keemasan matahari pagi mulai menyeruak ke atas, perlahan menyibak keriput yang sebelumnya bersembunyi di balik belenggu malam yang tersisa.

"Kapan aku membantah ayah? selama ini aku selalu menurut, bukan? kalau aku membantah, aku pasti sudah melakukan lebih. Ini tidak seberapa Ayah, aku bahkan tidak pernah menyentuh Arcy," Malik menjeda kalimatnya, pupil matanya bergetar, menunjukkan kalau saat ini, ia hanya berpura-pura tegar.

Sebuah senyum kemudian mengukir di wajah Malik, "apa saat aku membawa Lily kemari, ayah melihatnya? sampai-sampai Ayah rela datang kesini sepagi ini, atau mungkin, ayah selalu mengawasiku lewat layar monitor itu tanpa henti?" Malik kemudian terkekeh, "wah ... Kalau begitu, tahun ini, perhatian ayah banyak tercurah padaku ya?"

"Sudah cukup Malik! aku sudah cukup baik untuk membiarkanmu hidup di masa pemilihan anak, dulu. Kau seharusnya sada---"

"Ya, aku sadar! Ayah sudah membawaku pergi dari tempat penjualan anak, tapi ayah membunuh Olivia!" kedua tangan Malik bergetar, "aku sadar ... Aku tahu kalau meski tanpa bantuan ayah sekalipun, aku akan tetap hidup bersama kakak perempuanku. Tapi, ayah membunuhnya hanya karena dia perempuan, dan untuk itu, aku rasa hidup yang aku jalani selama ini, bukan harga yang cukup pantas ditebus dengan nyawa, ayah bahkan tidak pernah mendengar permintaanku, sewaktu aku datang untuk meminta Lily, ayah sama sekali tidak membantuku!"

"Aku sadar! dan aku sama sekali tidak gila ayah, yang gila itu Arcy!"

Hening, tak ada jawaban dari pria didepan Malik, nafas Malik menderu emosi, tangan kirinya yang menggenggam gunting bunga, semakin mengeratkan genggamannya.

Berselang beberapa saat, pria tua itu menghela nafas malas, " ... Kembalikan gadis itu pada Arcy, maka kau akan aku maafkan." Pria tua itu berbalik, berjalan kembali menuju letak mobilnya.

"... Hei," gumam Malik, "Hei Josephin! berhenti, berhenti di sana, aku belum selesai bicara ..."

Pria tua yang Malik serukan namanya itu tak peduli, ia masih dengan langkah tuanya, "aku bilang berhenti!" dengan cepat Malik berlari sambil mengangkat gunting berkarat miliknya ke angkasa, bersiap untuk menusuk tubuh Joseph.

Namun, belum sempat guntingnya terayun, sebuah peluru dengan cepat melesat masuk ke perut sisi kanan Malik. Membuat langkahnya terhenti, matanya yang berkaca, kini telah menguraikan air mata.

"Ada dua hal yang tidak aku sukai dalam hidup sejak aku masih kecil, Malik. Pertama, orang yang ingin menusukku, lalu yang kedua, orang yang sudah menusukku di belakang," Malik tak merespons, tangannya menyentuh letak lubang peluru milik Josseph, walau kesusahan, ia tetap berjalan mendekati sosok Josseph, " ... Selama ini, ayah. Aku, aku selalu menya,menyayangimu ... Aku selalu mencoba untuk, untuk mendapatkan perhatiannu ... Namun tidak pernah aku dapatkan," Malik tersenyum paksa, "... Aku tidak tahu apa yang sa,salah dari caraku, jujur saja, aku iri dengan Arcy, dia, dia tidak melakukan apapun tapi kau selalu menyayanginya lebih dari apapun ..." Malik tertawa kecil, matanya mengisyaratkan kesedihan.

"... Peluk aku ayah, penuhi, penuhi keinginanku kali ini saja, a,aku mohon ..."

Josseph tak bergerak, tangan kanannya masih menggenggam pistol yang ia gunakan untuk menembak perut Malik. Merasa Josseph tak bergerak, Malik semakin mendekat, merangkul tubuh kurus Josseph dengan tangan kirinya.

"... Maaf, ayah, maafkan aku!"

Crasssh!

Gunting yang dipegang Malik masuk menusuk perut bagian kanan Josseph, untuk beberapa saat Josseph tak bergerak, hanya tawa sinting dari Malik yang terdengar.

"Ayo mati ayah, ayo mati bersamaku ..."

Tanpa menjawab perkataan Malik, Josseph mengangkat tangannya yang memegang pistol, lalu menembak leher Malik dengan dinginnya. Membuat pria itu seketika tumbang, darah yang keluar dari lehernya perlahan mulai menggenang.

Beberapa detik setelah membunuh Malik, Josseph lalu memandang gunting besi yang sekarang masih melekat di perut samping kanannya.

"Kau tahu kenapa aku bisa menyayangi Arcy meski dia tidak melakukan apapun untuk mendapatkan perhatianku, Malik?" Josseph melepas pistol dari tangannya, "itu karena, aku jatuh cinta padanya, sikapnya yang tidak mengemis perhatian membuatku benar-benar memujanya ..."

THAT MAN ARCY!
To be continue ...

Semua cowok yang namanya berawal dari huruf J itu emang semuanya ga bener, kaya si Jepri yang ninggalin aku :')

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang