TMA 22

9.2K 1.1K 80
                                    

Kicauan burung yang terdengar tak begitu jauh sampai ke telinga Lily, gadis itu membuka matanya lalu menatap sekitar, dan ketika ia bangkit dari atas ranjang yang di tidurinya, ia mendengar suara orang yang sedang berdebat dari luar ruangan.

Dengan perasaan bingung, Lily membawa langkahnya keluar, di ambang pintu, berdiri pria tua bersama beberapa pria berbadan tegap, sedang memarahi Arcy. Lily begitu kenal dengan pria keriput bernama Raffi tersebut, dada Lily mulai berdebar saat tak sengaja matanya dan mata salah satu orang di samping Raffi bertemu, lekas ia menarik tubuhnya untuk bersembunyi.

"Kurang ajar! aku sudah mencari Lily kemana-mana, ternyata kau menyembunyikannya selama ini, dasar bedebah!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Arcy, namun meski sudah begitu, ia sama sekali tak merasa tersulut. Arcy malah mengulum senyum.

"Maaf ..." Ucap Arcy, ia menyipitkan kedua matanya, "Lily pernah cerita soal dirimu, katanya kalian akan menikah, bukan begitu?"

"Ya! cepat suruh dia keluar sekarang sebelum aku membawanya paksa dari sini," ucap Raffi sengak.

Arcy melebarkan senyumnya, "maaf tapi tunggulah sampai pemilik rumah ini tiba, masuklah jika bersedia, aku akan siapkan teh selagi kita menunggu," ujar Arcy, ia masih dengan senyuman miliknya.

Berbanding terbalik dengan Raffi yang saat ini jadi begitu marah dengan respons tenang Arcy, "apa kau kira sekarang, aku sedang main-main, anak muda?"

"Tidak, tentu saja tidak. Aku juga tidak main-main dengan ucapanku ... Mari sama-sama bersikap profesional," tukas Arcy langsung.

Raffi tak menjawab, ia menantang mata abu milik Arcy, ”Senan, Roy cari dan bawa Lily kemari!" perintah Raffi dengan dingin kemudian, segera dua orang yang ikut bersamanya bergerak masuk ke dalam, meninggalkan dirinya dan Arcy yang masih bergulat dalam tatapan yang tak bisa diartikan. Selama lebih dari 30 detik seperti itu, Arcy akhirnya menghela nafas.

"... Kau sama sekali tidak bisa sabar ya, pak tua." Arcy bergumam, ia menudukkan kepalanya selama beberapa detik sebelum kembali untuk menatap Raffi, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana yang ia gunakan, langkah Arcy maju untuk mendekati sosok Raffi yang terpaut jarak beberapa senti darinya.

"Ayo, kita tunggu sampai pemilik rumahnya tiba ..."

"Brengsek, kau pikir si---"

Perkataan Raffi berhenti saat dengan cepat tangan Arcy mengeluarkan sebuah pisau lipat dan langsung menusukkannya pada perut bagian atas milik Raffi, membuat mata pria tua itu membelalak, ia menatap Arcy dengan tatapan terkejut.

Perlahan, sebuah seringai terpasang di wajah Arcy, ia memiringkan kepalanya lalu menyeret pisau yang masih menancap di perut Raffi kearah tengah, menciptakan luka sobek yang besar di perut buncit Raffi.

"Maaf ya, pak ..." Arcy melepas pisaunya, Raffi tak bersuara, ia meluruh jatuh bersamaan dengan lepasnya pisau milik Arcy dari perutnya, pria itu memegangi perutnya yang terkoyak, mencoba menahan darah yang terus merembes keluar.

Suara gaduh terdengar dari dalam kamar yang ditempati Lily, dengan suara yang serak dan panik, ia terus menyerukan nama Arcy.

"K,kau, ka-aaaaaakkkkhhh!"

Sepatu pantopel milik Arcy menginjak kuat luka sayatan milik Raffi, membuat pria tua itu mengatupkan kedua bibirnya menahan sakit, wajah Arcy menatapnya datar, ia terus menginjak perut Raffi meski kedua tangan pria itu menahannya dengan sekuat tenaga.

"... Menjijikkan, kau mengingatkanku pada ayahku. Dia juga suka main perempuan sampai rela membunuh ibuku demi memuaskan nafsunya, sayang ... Dia tidak berumur panjang sehingga bisa setua dirimu sekarang, tapi tetap saja, kalian tidak berbeda sedikitpun. Dan itu, membuatku muak!" Arcy mengangkat sepatunya yang kini sudah dibercaki darah milik Raffi.

"Arcy tolong aku!"

Teriakan Lily semakin terdengar nyaring, Arcy menoleh ke belakang sejenak sebelum berjongkok di samping sosok Raffi yang kesakitan. Ia mengelap mata pisaunya menggunakan jas yang dikenakan Raffi, "andai kalau kau sedikit saja lebih muda dari sekarang, maka aku bisa membawamu pulang untuk Jakson ..." Tanpa jeda, Arcy langsung menusukkan pisaunya ke leher Raffi lalu mencabutnya segera. Membuat mata Raffi membesar dan darah keluar dari luka tusukan di lehernya.

"Arcy to---"

Arcy menoleh ke belakang saat mendengar kalimat Lily yang tak terselesaikan. Ia memandang Lily dengan wajahnya yang tenang,

"Bos!" seru kedua pria gempal tersebut secara bersamaan, salah satu dari mereka melepas Lily lalu menghampiri Arcy, "apa yang kau lakukan pada Bosku?!" salah satu lengan Arcy ditarik agar ia berdiri dari posisi jongkoknya, pria berotot yang sudah cukup lama menjadi anak buah Raffi itu ganti mencengkeram kerah baju yang dikenakan Arcy.

"Dia ingin menusukku, jadi aku hanya membela diri. Maaf, aku akan membayar kalian berdua dengan jumlah yang cukup sebagai permintaan maaf karena sudah menghilangkan pekerjaan kalian." Arcy tersenyum kecil.

"Apa katamu?! kau pikir aku bisa terima begitu saja! dasar kau bedeba---"

"Berapapun yang sudah dia berikan pada kalian berdua, aku akan membayarnya dua kali lipat. Lagipula, kalau tidak terima kau mau apa? membunuhku lalu kehilangan pekerjaan tanpa mendapat kompensasi?" Arcy masih dengan senyum kecilnya, ia terus menatap pria yang saat ini masih saja mencengkeram kerah bajunya.

"Senan ..." Panggil pria yang menahan tubuh Lily.

Mendengar namanya disebut, Senan segera melepas cengkeramannya dari kerah baju Arcy, keadaan menjadi senyap selama beberapa detik sebelum Senan kembali membuka mulutnya, "... Baiklah, aku setuju." Putusnya kemudian, "jadi mulai saat ini, aku dan Roy akan bekerja padamu?"

"Tidak, aku tidak butuh pengawal ataupun yang lainnya. Kalian boleh pergi kemanapun setelah ikut aku untuk mengambil uangnya," jawab Arcy, pandangannya lalu bergerak untuk menatap Lily yang terdiam dengan ekspresi shock-nya.

"Boleh kita pulang sekarang, Lily?" tanya Arcy kemudian.

"H,hah?" respons Lily canggung.

TMA!

Langit malam yang dihiasi bulan yang setengahnya tertutup remang seolah menemani sosok pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu balkon kamarnya. Di atas kedua telapak tangannya terdapat sebuah album foto tebal yang memuat banyak foto anak-anak.

Setelah puas memandanginya, pria itu lalu membalik halamannya, foto yang terpasang dihalaman itu adalah foto Arcy saat remaja yang difoto dari dekat, posenya yang sedang memegang bunga mawar putih milik Malik serta mimik wajahnya yang tak memasang ekspresi apapun itu, berhasil mengundang senyum di wajah keriput pria tersebut.

Ia menghela nafas tipis, lalu mengeluarkan foto itu dari buku album yang dipegangnya, "sudah berlalu belasan tahun sejak hari dimana aku bertemu dirimu dan Oris, aku bahkan tidak membesarkan kalian dari kecil, tapi entah kenapa aku tak bisa berhenti menyukaimu meski sekarang kau sangat sulit untuk ditemui, Arcy ..."

THAT MAN ARCY!
To be continue ...

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang