SELEKSI TAHAP DUA

111 27 5
                                    

Mungkin sekarang aku tahu mengapa sikapku berubah hanya padamu, karena kamu satu-satunya yang menarik perhatianku.

Bima Angkasa Anggareksa.

🍊🍊🍊

Bima membereskan alat tulis dan buku-bukunya. Bel tanda pulang baru saja berbunyi satu menit yang lalu namun Bima terlihat santai membuat Gerhan mengeryit.

"Tumben santai?"

Bima menoleh ke belakangnya. "Iya, lagi nggak buru-buru." Jawabnya lalu menggendong tas punggungnya.

Gerhan hampir saja mengeplak kepala Bima karena jawaban yang sedikit menjengkelkan itu jika saja cewek yang Gerhan tahu bernama Giana itu tidak tiba-tiba nyelonong masuk ke kelasnya.

"E-eh.. maaf, salah masuk kelas. Tadi aku pikir ini kelasnya Hasna." Giana membalikkan badan sambil komat-kamit sedangkan di depan kelas sudah ada Yura yang memasang ekspresi "Lo harus memanfaatkan keadaan, gue udah dorong lo!" Giana hanya menanggapinya dengan menggeleng-geleng pelan.

"Tunggu!"

Giana terjengit dan menoleh dengan perlahan ke arah Bima dan Gerhan. Mata Giana terarah hanya pada Gerhan yang kini menatapnya lembut, ASTAGA!!! LELAKI ITU BARU SAJA TERSENYUM PADANYA!!!

Giana masih melamun karena terbawa pesona Gerhan sampai tidak sadar sekarang Bima sudah berada di depannya. Bima melambaikan tangan kirinya melihat Giana yang memandang Gerhan dengan tubuh yang kaku.

BRUKKK.

Giana hampir saja terjungkal kebelakang jika ia tidak kuat berpijak. Giana menatap kesal Bima yang baru saja menghibahkan beberapa map secara paksa padanya.

"Mohon maaf, ini maksudnya apa, ya?" tanya Giana dengan tersenyum paksa, pencitraan dong di depan Gerhan.

Bima berjalan mendahului Giana membuat Giana mengeryit heran. "Kak! Ini ngapain di kasih ke gue?!" teriakanya lalu mengejar Bima namun beberapa saat ia berhenti seakan ingat sesuatu. Ia mundur dan menyembulkan kepalanya di ambang pintu. "Kak Gerhan duluan, ya..." pamitnya.

Gerhan tersenyum. "Iya."

Giana mengigit bibir bawahnya menahan jeritan sangking manis dan tampannya Gerhan. Giana membungkuk sebagai tanda pamit sambil mengulum senyum.

🍊🍊🍊

Diza keluar dari ruangan jurnalistik ketika menerima sebuah panggilan telefon, ia mengangkat panggilan tersebut sedikit menjauh dari ruangan jurnalistik. Melihat ke sekitar sekilas, Diza kemudian menggeser tanda terima panggilan telfon.

"Kenapa lo telfon gue, Sak?"

"Gimana sekolah lo?"

"Lo telfon gue di saat sibuk gini cuman mau nanyain sekolah gue? For your information, sekolah gue nggak ambruk dan masih tetap tegak."

"Hahaha... calm down, bro. Gue cuman mau nanya gimana keadaan disana? Bima? Atau cowok yang lo tonjokkin waktu itu?"

"Sejauh ini semuanya baik-baik aja. Bima aman, dan cowok yang kemaren gue tonjok masih di rawat di rumah sakit katanya."

"Lo nggak di drop out, kan?"

"Tentu saja, berkat lo gue nggak perlu di adili. Enak ya, jadi anak pemilik yayasan. Kenapa lo nggak sekolah aja disini? Kenapa gue yang harus jadi mata-mata lo?"

"Gue cuman—"

Tut.

Diza mematikan panggilannya secara sepihak ketika menyadari ada seseorang yang berjalan ke arahnya. Teriakan Giana sangat membantunya, jika saja tidak ada teriakan Giana memanggil nama Bima, Diza yakin seratus persen misinya akan gagal.

MASTERPIECETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang