19| Menjauh

209 28 7
                                    

Hati Lo terlalu RUMIT untuk di PREDIKSI.
-Hanif Rizaldy
____________

Ok, Don't forget to vote and comment!
Wajib bukan sunnah:)

Nih! Happy Reading Guyss ❤️
________________________

Entah mengapa, pagi ini Thafa datang begitu cepat. Thafa memasuki kelasnya yang belum terlalu ramai orang didalamnya.

Karena asyik membaca novel, Thafa tak menyadari bahwa Faris sudah datang ke sekolah, dan baru saja memasuki kelas.

Thafa tersenyum, menengok ke arah Faris yang sudah duduk dibangkunya. Walaupun tak memaafkan Thafa, tapi setidaknya Faris mendengarkan Thafa agar tetap ke sekolah.

Faris buang muka melihat Thafa. "Nif, tukaran tempat dong!" Gumamnya Pada Hanif yang sudah duduk disebelahnya.

"Bentar aja setelah jamnya Bu Lisa. Bu Lisa kan orangnya gak suka kalo murid yang di ajarnya pindah-pindah." Jawabnya yang membuat Faris mendengus.

"Di? Aldi? Kita tukaran tempat ya!?" Panggil Faris pada Aldi yang duduk di depannya. Karena Aldi mengetahui masalahnya, Ia menurut lalu berpindah tempat dengan Faris.

Thafa tersenyum kecut mendengar dan melihatnya. Ia menatap punggung dengan sorot mata nanar. Segitu benci dan kecewanya Ia dengan Thafa, sampai-sampai Ia berpindah tempat duduk?

"Pagi anak-anak."

"Pagi Buu." Jawab semuanya pada Bu Lisa, selaku guru Biologi, yang baru saja datang.

"Baik, kita lanjut materi biologi sebelumnya ya." Gumamnya, "Ada yang masih ingat apa itu DNA dan RNA?" Tanyanya.

Semuanya diam tak menjawab apa-apa. Thafa tak mendengar penjelasan Bu Lisa karena serius menatap Faris dari arah belakang.

Kalau disuruh memilih, Mbok lebih memilih di benci oleh perempuan atau cewek, di bandingkan sama cowok. Soalnya Kecewanya seorang cowok gak main-main Non.

Thafa terus mengingat perkataan Mbok Minah kemarin.

"Benar kata Mbok Minah, kecewanya cowok gak main-main." Batinnya.

"Gak ada yang bisa jawab?" Tanya Bu Lisa sekali lagi. "Thafa? Biasanya kamu yang sering menjawab."

Tak menjawab apa-apa, Thafa masih sibuk melamun.

"Thafa?" Panggil Bu Lisa lagi. "Thafana Ailinindya Athala!!!" Gertaknya, yang membuat semua yang ada di dalam kelas mengarahkan pandangan kearahnya.

Tersentak, "I-iya Bu?" Gugupnya.

"Kamu dengar tidak, apa yang ibu tanyakan tadi?"

"Maaf bu. Kepala saya lagi pusing, makanya saya tidak konsen." Alibinya membuat Bu Lisa mengangguk paham.

"Lain kali kalo lagi sakit, ke UKS aja! Daripada kamu tinggal di kelas tapi pikiran kemana-mana."

"Iya Bu, Maaf."

"Oke, kita lanjut. Siapa yang bisa jawab pertanyaan Ibu Tadi?" Tanyanya lagi.

Faris mengangkat tangan, membuat Bu Lisa tersenyum ke arahnya. "Faris. Kamu memang selalu bisa menjawab pertanyaan saya."

"Saya mau izin ke toilet Bu." Gumamnya, membuat Bu Lisa mendengus lalu mengangguk. "Kirain mau jawab. Yaudah, silahkan!" Lanjutnya.

Faris keluar kelas, tanpa berbalik ke belakang sekalipun. Itu yang membuat Thafa makin sakit. Jangankan untuk bicara, ngomong dengan Thafa saja rasanya Faris sudah tak mau.

Thafa ikut mengangkat tangan. "Bu saya izin ke UKS ya Bu? Kepala saya makin pusing." Alasannya memegangi kepalanya.

"Iya silahkan."

Thafa tersenyum mendengarnya. Dengan cepat, Ia berjalan keluar kelas dengan tempo jalan yang begitu kencang.

•••

Bukanya ke UKS, Thafa memilih mengikuti langkah Faris dari belakang, dengan langkah kaki yang terlihat buru-buru.

"Faris?! Faris?" Panggilnya, namun Faris tak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan berhenti dan berbalik.

"Faris? Tunggu!!"

"Faris? Gimana masalah keluarga lo?" Tanyanya lagi, yang membuat Faris menghentikan langkahnya.

Tanpa berbalik, Ia menjawab. "Udah Kelar. Lagian, masalah keluarga Gue itu urusan gue. Orang lain gak usah ikut campur." jawabnya datar.

Thafa sedikit tersenyum, mendengar Faris menjawabnya, walaupun jawaban Faris sedikit menohok hatinya. Namun, sedetik berikutnya Faris kembali berjalan meninggalkan Thafa di belakangnya.

"Faris mau kemana? Gue belum selesai ngomong. Faris? Faris dengerin dulu!" Thafa mengejar Faris, namun sayang Ia terjungkal karena menginjak batu yang mengakibatkan kakinya berdarah. "Aww!!" Ringisnya.

Faris yang mendengarnya berbalik melihat Thafa, namun tak melangkahkan kakinya sedikitpun. Ada harapan, saat Thafa melihat Faris memandangnya.

Salah. Dia benar-benar salah. Faris berbalik hanya menampakkan senyum yang sulit diartikan, seperti senyum mengejek. Kemudian ia berlalu pergi meninggalkan kekecewaan bagi Thafa.

Thafa menatap nanar kearahnya. Bisu, yah saat ini Ia hanya bisa membisu. Faris yang awalnya selalu khawatir kepadanya, perhatian dan juga ngelindunginnya kini seolah pergi dan menjauh.

Ia mengingat saat kejadian tempo lalu di trotoar, saat kaki Thafa juga berdarah. Faris dengan sigap mengikatkan sapu tangan ke kakinya, saking khawatirnya. Bahkan sapu tangan Faris tersebut masih ada di rumah Thafa.

Sebulir air mata menetes, tatkala Thafa mengingat kejadian itu.

Perlahan ia memaksakan kakinya untuk berdiri, walaupun darah semakin bercucur di tumitnya. Namun, sebuah tangan terulur kehadapannya, Thafa tersenyum karena merasa itu adalah tangan Faris.

Ia segera mendongak. Salah, ini bukan Faris tapi Hanif.

"Hanif?" Tanya Thafa.

"Iya gue Hanif, ngirain Faris yah?" Tanyanya balik, sembari membantu Thafa berdiri.

Thafa hanya diam tak menjawab apa-apa. Memang benar, tadi Ia mengira bahwa tangan yang terulur itu adalah tangan Faris.

"Udahlah Thafa, gak usah mikirin Faris. Dia aja tega ngebuat lo kayak gini." Gumam Hanif lagi.

"Lo nggak tau apa-apa. Jadi mending lo diam!" Sargas Thafa, melepaskan pegangannya dari Hanif, lalu berlalu pergi.

"Hufft, terkadang gue bingung dengan hati lo Thafa, terlalu rumit tuk diprediksi." Monolog Hanif melihat Thafa berjalan sedikit pincang dari arah belakang.

TBC

Rabu, 30 September 2020

Dilemma ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang