Happy reading!
🌧🌧🌧
15.00, bel pulang menggema di seluruh sudut sekolahan yang menandakan pertemuan hari ini telah berakhir.
Barra dan teman-temannya berdiri di balkon kelasnya di lantai dua. Menghadap ke arah bawah melihat banyak siswa lain yang bersliweran menuju ke arah gerbang. Mereka sengaja berdiam diri sambil menunggu suasana tidak begitu ramai agar tidak berdesakan di gerbang nanti.
"Barra!"
Cewek dengan bibir selalu tersenyum itu memanggil Barra dari arah bawah, membuat Barra dan teman-temannya menoleh ke sumber suara. Ya, ada Asya di sana.
Kedua teman Barra- Alex dan Fian melirik ke arah Barra seraya memberi kode seolah menyuruh Barra untuk merespon Asya. Namun, Barra hanya pasang muka datar andalannya. Ya cowok ini kurang peka.
"Peka dikit dong Barr, dia kayak gitu artinya pengin pulang bareng sama lo." ujar Alex menepuk pundak Barra. Lalu mengajak Fian untuk ke lantai satu duluan meninggalkan Barra yang masih di tempat.
Pertanyaan Barra, dari mana Alex tahu arti senyuman cewek? Bahkan dia sendiri nggak punya pacar. Menurut Barra semua senyuman sama aja nggak bisa dibedakan itu artinya apa. Yang Barra tahu kalau senyum mungkin lagi bahagia.
Barra menghadap ke arah bawah kembali, dahinya mengerut karena tidak ada keberadaan cewek itu lagi di sana. Barra hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Namun, ketika berbalik... taraaaa... Ada Asya yang sudah berdiri di hadapannya sekarang. Sejak kapan dia berada di sana.
"Barra!" panggil Asya keras sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Barra yang mulai berjalan.
"Hm," deham Barra dengan mata terus menatap lurus ke depan.
"Mau pulang naik apa?" tanya Asya dengan pertanyaan yang biasa ia tunjukkan jika pulang bersama Barra. Ya seperti hari kemarin.
"Angkutan," balas Barra dingin. Tidak lebih dari satu kata, entah Barra pelit atau irit ngomong. Jawabannya masih sama seperti hari kemarin.
"Kenapa nggak pakai motor aja?"
"Belum punya SIM."
"Oh iya," Asya menepuk jidatnya sendiri, ia lupa kalau Barra masih berumur 16 tahun. Padahal sudah ia tanyakan puluhan kali tentang ini.
Tidak disadari mereka sudah sampai di gerbang depan sekolah. Mereka berdua menunggu angkutan umum bersamaan di halte. Kebetulan mereka berdua masih satu arah.
Sudah agak lama mereka menunggu dan akhirnya datang juga angkutan yang mereka tunggu. Mereka berdua naik ke angkutan yang sama. Dan Asya sengaja duduk di sebelah Barra. Ya agar ia bisa leluasa menikmati wajah Barra dari dekat.
Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun begitu deras. Ketika Asya membuka tasnya, tidak ada payung atau jas hujan yang Asya bawa.
"Halte 3! Halte 3!" triak kernet ketika angkutan sudah tiba di halte 3.
Asya bangkit dari duduknya, memberi uang kepada kernet lalu ia segera turun dari angkutan begitu juga Barra. Mereka berteduh untuk sementara waktu di halte sambil menunggu hujan reda.
Tidak ada yang mengeluarkan suara diantara mereka hingga beberapa menit. Dan Asya yang memulai pembicaraan kembali karena sesuatu.
"Barra, lo bawa payung atau jas hujan nggak?" tanya Asya terpaksa, tak ada pilihan lain lagi. Asya menelan salivanya dan menunggu jawaban dari Barra. Berharap Barra akan meminjamkan sesuatu untuknya.
Barra membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam. Sebuah hoodie hitam sudah ada ditangan Barra. Apakah Barra akan meminjamkan hoodie untuknya? Asya tersenyum untuk itu.
Slup
Barra memakai hoodie itu untuk dirinya sendiri."Nggak ada," singkatnya lalu Barra pergi meninggalkan halte dan menerobos rintikan hujan yang masih cukup deras. Meninggalkan Asya sendirian di sana.
Terlalu percaya diri itu tidak baik.
Asya menghela nafasnya, lalu memandangi hujan yang turun dari langit dengan tatapan sendu. Sepatunya lama-lama basah karena terkena percikan air hujan. Hawa dingin pun seakan menusuk hingga masuk ke dalam tulangnya.
Jika diingat-ingat, sudah berapa kali Asya merasa kecewa karena dirinya sendiri? Banyak. Sebenarnya Asya tahu apa yang akan terjadi setelah ia mencoba untuk dekat dengan Barra. Pada akhirnya ia selalu merasa kecewa.
Asya mau-mau saja pulang hujan-hujanan. Tapi seragamnya akan ia pakai lagi esok harinya. Dan sialnya Asya hanya memiliki satu seragam identitas.
Terpaksa ia menunggu hujan hingga reda.
Jalanan mulai sukar dilalui kendaraan. Langit semakin redup dan hujan tidak kunjung reda. Apa Asya akan membeku ditengah hujan? Ia memandang jam yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Jarum menunjuk ke angka 4.
Tiba-tiba ada seseorang dengan motor sportnya berhenti tepat di depan Asya. Ia ikut menepi di halte yang sama. Dari seragamnya sama seperti yang sedang Asya kenakan.
Awalnya Asya sama sekali tidak peduli siapa dia. Namun ketika orang itu membuka helmnya.
"Kak Arga,"
Ya, cowok perhatian dalam pertemuan tidak sengaja saat di kantin. Aura kegantengannya keluar ketika Arga melepas helmnya barusan.
But, sorry... Hati Asya tetap untuk Barra.
"Kok sendirian? Rumah lo dimana?" tanya Arga yang sekarang duduk di sebelahnya.
"Tinggal masuk kompleks aja sih, tapi agak jauh."
"Ayok gue antar," ajak Arga tanpa basa-basi.
"Tap-"
"Ngga ada penolakan! Kalau lo takut kena hujan, lo bisa pakai jaket gue." paksa Arga, ia melepas jaket bombernya lalu ia berikan kepada Asya. "Luarnya agak basah tapi dalamnya masih kering kok,"
Pada akhirnya Asya menuruti permintaan Arga untuk diantar pulang.
🌧
_sadarkah kita sering menaruh harap yang lebih kepada orang yang sama sekali tidak mempedulikannya? _
🌧🌧🌧
tolonhlah voment.aiunda(23/9/20)
![](https://img.wattpad.com/cover/242437159-288-k190357.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CRYING UNDER RAIN [Selesai]
Teen FictionDipaksa selesai sebelum dimulai. - - - 📌Jangan lupa voment & share! 📌Mau follback atau feedback, DM aja. #1 primily [26/10/21] #1 adikkelas [23/01/22] #1 barra [04/02/22]