⚠
Happy reading!
🌧🌧🌧
Di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan raya dimana Barra, Alex, dan Fian berada. Kegabutan malam menyeret mereka bertiga untuk nongkrong bersama di sana.Oh ya, kedai kopi ini adalah milik Alex sendiri. Semuda ini ia sudah diberi sebuah kedai kopi oleh ayahnya. Meski hanya kedai kopi kecil-kecilan. Tujuannya supaya Alex belajar mengelola sesuatu. Juga ia mendapat penghasilan dari kedai ini sebagai uang saku kesehariannya. Hebat! Lanjutkan Lex!
Kepulan asap mengepul tinggi lalu hilang di tengah udara. Rokok dihimpit di sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Ya! Mereka memang sering merokok di luar sekolah. Termasuk Barra.
Apa yang mereka lakukan di sana? Hanya berbincang mengenai sesuatu yang tidak penting. Apa kalian bisa menebak?
"Anjir, bener banget gorengannya mba Sumi naik harga." keluh Fian yang memang pelanggan setia gorengannya mba Sumi. "Utang gue belum lunas lagi," pasti tebakan kalian melenceng ya? Hayo ngaku!
Gorengan mba Sumi, entah bumbunya apa sampai menghipnotis lidah mereka yang menyantapnya. Ajaib.
"Mampus! Makin banyak pula utang lo!" sarkas Alex merasa puas.
Mereka berdua asik dengan obrolannya tentang gorengan mba Sumi yang naik harga. Sampai lupa kalau di sana juga ada Barra yang dari tadi cuma menyimak obrolan temannya sambil menghisap rokok di jarinya.
"Barr, diam mulu. Sariawan lo?" ledek Fian.
"Ssttt, jangan ganggu Yan," timpal Alex yang lalu mendapat lirikan tajam dari Barra. "Barra lagi mikirin Asya,"
"Bacot" umpat Barra tidak suka. Barra membuang putung rokoknya ke atas asbak beling bening di atas meja.
Gimana? Jika kalian mengira bahwa Barra adalah tipikal cowok dingin idaman yang baik dan sempurna itu artinya kalian salah. Barra tidak beda dengan cowok yang lainnya, ia merokok, begadang, nongkrong, mengumpat. Normal seperti yang lainnya, hanya saja Barra anti cewek.
"Gue heran, bisa-bisanya ngejar cowok kayak lo, Barr!" sarkas Fian buka-bukaan karena menurut Fian lebih baik ngomong langsung terang-terangan daripada di depan manis dibelakang pahit. "Kalau gue cewek nggak bakal deketin Barra, bisa-bisa kena flu akibat terpapar sikap dinginnya."
"Lo nggak kasihan, Barr?" tanya Alex serius. Jujur saja ia tidak setuju dengan sikap Barra yang selalu bersikap acuh dengan semua hal di sekitarnya. Apalagi Asya, cewek paling peduli sama Barra. Kenapa sih cewek kayak dia harus suka sama es batu berwujud manusia? "Ubah sikap lo sedikit lah."
"Hah?"
Barra mengangkat dagunya seolah ia tidak mendengar tutur kata Alex dari tadi. Hah heh hah heh.. Barra pengen ditampol pakai cangkir kopi.
Alex menghela nafasnya, susah memang menjelaskan sesuatu kepada orang yang kepekaannya kurang seperti Barra. Bikin emosi!
"Nih Barr, dengarin!" Alex mengatur nafasnya, "lihatlah dan bukalah mata hatimu.."
"Melihatnya lemah terluka," tambah Fian bernada.
"Namun semangatnya takkan pernah pudar, hingga Tuhan kan berikan..." lanjutnya Alex dan Fian bersamaan. "Barraaaaaa..."
Plllaaaakkkk!
"Anjing!!" mulut Alex kelepasan ketika Barra memukul kepalanya. Rasanya cenat-cenut gimana gitu soalnya Barra kalau mukul nggak nanggung-nanggung.
Begitu juga Fian yang memegangi kepalanya kesakitan. Siapa suruh membangunkan beruang yang sedang tidur. Iya beruang, beruang kutub maksudnya.
Mereka tidak mempedulikan orang di sekeliling mereka yang juga sama-sama sedang nongkrong di tempat itu.
"Stress gue lama-lama." ucap Barra datar sambil memijat pelipisnya penat. Kedua temannya selalu meledeknya, dan Barra tidak suka itu. Apa lagi dengan membawa-bawa nama Asya dalam jokesnya.
"Gue rasa lo harus cepat-cepat respon Asya. Peduli kalau nggak dihargai juga lama-lama bakal males dan muak, Bar." saran Alex.bAlex hanya merasa iba dengan Asya yang selalu Barra abaikan. Tidak ada pilihan lain lagi selain mendesak Barra terus-menerus. "Kalau keduluan orang gimana?"
"Bodo." jawab Barra acuh. Alex dan Fian hanya menghembuskan nafasnya pasrah. Sulit sekali membuat Barra untuk membuka hatinya. Semua saran dan masukan ditolak mentah-mentah.
Pukul 01.11 tengah malam. Pelanggan sudah mulai berkurang dan udara semakin mendingin. Mereka masih terjaga di kedai kopi milik Alex.
"Yan, tugas biologi udah?" tanya Alex lalu menyeruput kopi didepannya.
"Lah bege! gue tau ada tugas aja nggak." jawab Fian lalu mereka berdua kompak menghadap Barra. Barra adalah manusia yang paling rajin, nggak malesan, paling teladan. Diantara mereka bertiga doang sih.
"Apa lo?" sinis Barra yang sadar dipandangi oleh kedua teman anehnya itu. "Gue belum. Lagian harus pinjam buku perpus," jangan heran kalau baru dengar Barra ngomong lebih dari tiga suku kata.
"Gue nyontek ya!" ucap Alex dan Fian bersamaan.
"Hm," deham Barra acuh.
Begitu lah mereka ketika sudah bertemu, rada-rada nggak jelas. Namun, mereka berdua lah yang bisa membuat hidup Barra sedikit kembali menghangat. Hanya sedikit. Sedikit sekali. Sebesar titik pada akhir kalimat.
Barra mengambil hoodienya yang tersampir di kursi dan memakainya. Lalu ia beranjak seperti akan meninggalkan tempat itu.
"Mau kemana?" tanya Alex.
"Pulang," jawab Barra singkat.
"Ngga begadang sampai pagi?"
Barra terdiam sejenak, bukannya ini udah pagi? Ah lupakan! Barra malas untuk berdebat."Nggak,"
Barra keluar dari kedai itu, lalu mengeluarkan motornya dari parkiran. Iya motor. Barra pun sering membawa motor sendiri hanya saja hanya ia lakukan di luar sekolah.
Dan melajukannya...
🌧🌧🌧
Jangan lupa voment!
Terima kasih.aiunda (1/10/20)
KAMU SEDANG MEMBACA
CRYING UNDER RAIN [Selesai]
Ficção AdolescenteDipaksa selesai sebelum dimulai. - - - 📌Jangan lupa voment & share! 📌Mau follback atau feedback, DM aja. #1 primily [26/10/21] #1 adikkelas [23/01/22] #1 barra [04/02/22]