23🌧

107 14 20
                                    

Happy reading!

🌧🌧🌧

"Tunggu Barra!" cegat Asya beranjak dari duduknya. Barra pun menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh seolah ingin tau apa yang akan Asya sampaikan. "Lo mau ke mana?"

"Kelas." jawabnya singkat sambil melirik Asya setelah itu Barra kembali melanjutkan langkahnya lagi.

"Barra!" cegatnya lagi dengan meninggikan nada suaranya dan mulai menghampiri Barra.

Barra membalikkan tubuhnya, sudah ada Asya dihadapannya dengan jarak yang begitu dekat dengannya. "Apa lagi?" tanya Barra menatap Asya tajam. Sedangkan Asya menatap kembali wajah Barra dengan curiga. Asya merasa aneh dengan perubahan sikap cowok itu. Padahal kemarin sore juga baik-baik saja.

"Bisa nggak, jangan ganggu gue sehari aja." ujar Barra pelan tanpa mengalihkan pandangannya. Ini Asya salah dengar atau bagaimana? Apa Barra benar-benar ingin Asya pergi? Asya menelan salivanya, mengapa dirinya jadi takut dengan Barra sekarang? Dahinya mengerut dengan mata tetap menatap wajah Barra.

"Barr?" tanya Asya. Tak sedikit yang sedang memandang mereka berdua sekarang. Perpustakaan selalu ramai dikunjungi oleh siswa di sana. Jadi, kalian bisa tahu apa yang sedang Asya rasakan. Malu. Malu karena menjadi tontonan gratis. Apa lagi Barra yang berucap lebih dari tiga suku kata yang tentu itu hal yang langka dan menjadi perhatian.

"Gue heran, apa yang lo kejar dari gue?" bukannya menjawab, Barra malah bertanya balik. Asya diam, sama sekali tak paham dengan apa yang sedang Barra lakukan.

"Jawab!" tekannya pelan membuat Asya mengerutkan dahinya tak paham. Di sisi lain, Kila baru saja masuk ke dalam perpustakaan karena tadi mendengar sesuatu tentang Asya dari siswa yang berjalan dari arah perpustakaan.

Barra semakin memajukan langkahnya pelan, dan Asya semakin mundur hingga terantuk meja di belakangnya. Wajah mereka sangat dekat sekarang.

"Nggak perlu repot-repot ngurusin gue." kalimat dingin yang keluar dari mulut Barra masuk ke dalam telinganya. Barra benar-benar ingin Asya berhenti? Apa dia marah karena Asya sering mengganggu? Atau karena Asya melarang Rara menyentuh kening Barra tadi? Ah Asya masih belum paham. "Gue nggak butuh dicintai dan lo nggak perlu peduli."

Matanya berkaca, pikirannya merambah kemana-mana, dan mulutnya enggan untuk bertanya. Kalimat terakhir yang ia dengar sungguh menyakitkan. Apa itu jawaban yang selama ini Asya tunggu? Jika iya, itu berarti Barra meminta dirinya untuk benar-benar berhenti?

"Lo nggak capek?"

"Jangan jadi cewek yang haus akan cowok."

"Dengan cara lo ngejar-ngejar gue, lo jadi terkesan murahan!"

Air mata meluncur bebas di kedua pipinya yang memang sulit untuk ditahan, namun dengan cepat Asya menghapusnya dengan punggung tangan. Mengapa Barra menjadi seperti ini? Barra berubah? Atau memang ini lah Barra yang sesungguhnya. Barra terlihat sangat marah bahkan ia bicara dengan nada tinggi tepat di depan wajah Asya.

Asya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dirinya dan Barra bagaikan acara menarik di televisi. Mereka semua melihat, mendengar, bahkan bisa merasakan secara langsung bagaimana Barra yang dikenal tidak banyak bicara menjadi seseorang yang banyak bicara dan seorang Asya yang biasa tersenyum menjadi menangis. Asya merasa harga dirinya telah dijatuhkan. Lebih hancurnya lagi yang menjatuhkan adalah orang yang ia cintai. Asya malu! Asya sedih!

"Lo nggak akan cinta kalau kenal gue lebih dalam."

"Jadi, Apa alasan lo?" tambahnya lagi. Asya tak paham mengapa Barra terus bertanya seperti itu. Apakah Barra tidak memikirkan perasaan Asya sedikit pun? Padahal terlihat jelas Asya sudah mengeluarkan air matanya yang itu artinya kalimat yang keluar dari mulut Barra menyakitkan.

Asya tidak tahan mendengarnya. Apa yang ia dengar membuatnya semakin malu dan sakit hati. Asya merasa perasaannya tak ada bedanya dengan udara yang selalu ada namun sering lupa dianggap keberadaannya. Asya mengepal telapak tangannya dengan erat, menahan amarahnya sekuat mungkin agar tak meledak. Ingin rasanya mengacak-acak seluruh barang di perpustakaan ini! Ingin rasanya mulut memaki, namun hati selalu mencegahnya.

"Gue nggak punya alasan, Barra! Gue nggak tahu kenapa gue bisa suka sama lo? Kenapa gue ngejar-ngejar orang yang nggak pernah menghargai usaha gue sama sekali? Dan kenapa gue terus melakukan hal sama setiap hari, padahal gue tahu balasannya juga pasti tetap sama?"

"Karena apa? Karena gue percaya suatu saat pasti lo bakal berubah pikiran dan mulai buka hati buat gue! Nyatanya itu cuma perkiraan bodoh yang selalu gue percaya." ucap Asya bertubi-tubi dengan suara bergetar tak berani menatap mata Barra lagi. Asya lebih memilih untuk melihat ke bawah daripada menatap Barra dengan mata elangnya.

Perlahan tatapan Barra mulai berubah, ia hanya mengerutkan dahinya. Bagaikan sebuah boomerang, yang awalnya Barra akan membuat Asya berhenti malah justru Barra sendiri yang merasa bersalah.

"Barr, gue cuma butuh attention dari lo. Nggak perlu banyak tenaga buat ngelakuin itu. Lo hanya perlu mendengar dan menerima perlakuan gue." tambah Asya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan karena nafas yang tidak beraturan saat menangis membuatnya kesusahan untuk sekedar bicara dengan lancar.

"Maaf. Maaf karena udah bikin lo merasa terganggu dengan semua yang gue lakukan. Maaf bila apa yang selama ini gue usahakan begitu membosankan. Gue emang nggak tahu diri dengan sering menaruh harap yang lebih ke orang yang nggak pernah menginginkan keberadaan gue." lanjutnya lirih.

"Gue emang murahan, tapi percayalah gue lakuin itu cuma ke lo. Hanya ke Barra. Tapi sayangnya Barra-nya nggak suka."

"Gue selalu sedih dengan sikap lo, termasuk sikap lo barusan. Tapi, tenang aja nggak masalah meski lo udah bikin gue malu dan sakit hati berkali-kali."

"Gue tetap suka sama lo." finishnya dengan senyuman di bibir. Senyuman yang menyakitkan. Lalu meninggalkan Barra yang masih berdiri mematung di tempat.

Air matanya tumpah begitu saja dari matanya dan terus mengalir. Semakin ia menahan, semakin sakit dirasakan. Ia terus melangkahkan kakinya. Entahlah akan kemana, yang jelas Asya akan menenangkan diri terlebih dulu.

Memang sulit mencoba tegar dalam situasi seperti ini.

🌧🌧🌧

Jangan lupa voment!
Terimakasih!

aiunda (17/10/20)

CRYING UNDER RAIN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang