+ 44. HAMPA

74 8 10
                                    

Happy reading!

🌧🌧🌧

Membenamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Asya sudah biasa tidak mendengar penjelasan guru yang ada di depan. Bahkan hingga jam pelajaran berakhir. Bu Intan mencegahnya untuk pulang tadi. Jadi Asya terpaksa tetap di kelas hingga bel pulang berbunyi.

Hari ini terasa beda. Ia tidak mendapat perlakuan manis lagi dari Arga. Atau mungkin cowok itu sudah mulai melupakannya. Ah sudahlah, dia pantas mendapat seseorang yang lebih darinya.

Yang tidak egois seperti dirinya tentunya.

Asya keluar dari area sekolah dan langsung masuk ke dalam angkutan umum yang kebetulan melintas. Sudah lumayan lama ia tidak duduk di sebelah Barra. Bahkan sekarang ia tidak menemukan Barra di dalam angkutan yang ia naiki.

Ia hanya diam menatap keluar jendela. Sejak kemarin cuacanya selalu mendung atau bahkan hujan. Alam tahu apa yang sedang dirasakannya.

Kila. Tidak disangka-sangka malam itu adalah malam terakhir kita Kila. Perpisahan yang bahkan lebih jauh dari kata buruk. Sangat buruk.

Bodohnya saat itu Asya tidak menggubris permintaan maaf dari Kila. Malam itu ia merasa sangat dikecewakan oleh keadaan.

"Gue nggak nganggap lo salah, Kila." gumam Asya tanpa sadar meneteskan air matanya. "Jangan minta maaf."

'Gue cuma nggak suka karena lo nggak cerita ke gue. Coba aja kalau lo cerita ke gue, gue bakal bantu lo dan lo nggak perlu susah-susah jadi penghianat sahabat lo sendiri.' batinnya.

Hampa. Ia bingung harus seperti apa. Kata Arga nggak boleh sedih, kata mamah harus ikhlas. Tapi mereka tidak memberi tahu caranya. Bagaimana bisa mengikhlaskan kepergian yang perpisahannya saja dengan keadaan tidak baik-baik.

Saat ini Asya hanya ingin Kila. Hanya Kila! Namun Asya paham jika keinginannya tak bisa dikabulkan.

Ia baru saja merasa senang, lalu didatangkan kesedihan oleh hal lain. Tidak bisa kah ia merasakan kebahagiaan yang seutuhnya.

Selama ini ia hanya pura-pura di balik kesepiannya. Dan merasa ditemani dengan adanya pelangi berupa Kila yang membuat hidupnya sedikit memiliki warna.

Namun tiba-tiba pelangi itu hilang.

Drtttt drrrtt

Handphonenya bergetar, Asya mengeluarkannya dari dalam saku seragamnya dan melihat ada nama Arga tertera di sana. Dan ia langsung mengangkat dan menempelkan speaker di telinganya. Sebelumnya ia menghapus air matanya dan menyiapkan suara senormal mungkin agar tidak terdengar seperti habis menangis.

"Halo kak?"

"Maafin gue, Sya. Hari ini gue sibuk banget sampai lupa nggak beliin lo makanan waktu istirahat tadi."

"Gapapa"

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo."

"Bilang aja."

"Sebelumnya maafin gue Sya, gue cuman pura-pura suka sama lo dan berusaha tetap deket sama lo supaya Dea benci gue."

Mata Asya melebar, apa ini? Ia merasa ada yang berhenti dalam tubuhnya.

"Ini untuk yang ke 3 gue ngelakuin hal yang sama. Sorry kalo lo jadi terseret ke masalah hidup gue. Sekarang Dea udah dipindahin kan? Lo udah bisa bebas tanpa gue, Sya. Anggap aja kita nggak pernah kenal. Maaf"

Tut tut tut

Asya belum menjawab apa-apa namun sambungan telfon langsung diputus sepihak oleh Arga. Asya menurunkan handphonenya.

Asya pikir ucapan orang lain tentang Arga salah. Arga memang benar-benar brengsek. Andai saat itu ia tidak menerima kedatangan Arga di hidupnya. Semua ini tidak akan terjadi. Hidupnya akan tenang, bahagia tanpa gangguan Dea, dan yang paling penting Kila masih ada di sini.

Angkutan berhenti tepat di halte 3. Asya turun dari angkutan dengan pikiran masih berputar pada ucapan Arga di telfon barusan. Ia masih terpaku di pijakan setelah ia turun dari angkutan dan tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Asya menoleh, ada Barra yang hendak beranjak dari halte sepi itu.

"Barra!" panggil Asya pelan membuat Barra membalikkan badannya. Asya melangkah pelan mendekat dan berdiri di hadapan Barra yang hanya berjarak setengah meter saja. Di bawah hujan.

🌧🌧🌧
Hayo mo ngapain?

Jangan lupa voment!
Terima kasih.

aiunda (28/12/20)

CRYING UNDER RAIN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang