+ 42. PELANGIKU HILANG

72 11 16
                                    

Happy reading!

🌧🌧🌧

Beberapa hari kemudian...

Minggu.

Jujur saja, dirawat di rumah sakit selama seminggu itu rasanya melebihi bosan. Ia harus tetap berdiam diri di atas ranjang. Satu pertanyaan yang sering diucapkan setiap saat. Kapan pulang? Dan pada akhirnya saat itu tiba kemarin malam.
-
08.30

Asya berlari ke arah mamahnya yang sudah berada di ruang tamu. Ia sudah berdandan cantik dengan balutan gaun hitam sederhana.

"Maaahh Asya sudah si-" seruannya terhenti ketika melihat sosok lain yang juga ada di ruang tamunya. "Kak Arga?"

Asya duduk di tengah-tengah mamahnya dan Arga. Ia tidak tahu jika Arga datang ke rumahnya. Karena janji waktu Asya masih di rumah sakit, Asya akan pergi bersama mamahnya ke tempat Kila.

"Kamu pergi sama Arga ya?" tanya Sari kepada putrinya.

"Terus mamah?"

"Butik mamah pindah dekat sini, jadi mamah harus urus itu. Supaya mamah bisa pulang setiap hari." ujar Sari. Membuat Asya merasa senang berkali-kali lipat.

"Oke dehh.." ujar Asya pura-pura sedih. "Ya udah ayok! Jangan lama-lama, Asya pengin ketemu sama Kila."

Arga beranjak dari duduknya, "Saya ijin bawa Asya ya tante." ucap Arga menyalami tangan Sari diikuti Asya. "Assalamu'alaikum" ucap Asya dan Arga bersamaan.

"Wa'alaikumussalam"

Arga menyalakan motornya dan menyuruh Asya untuk memakai helm. Setelah itu Asya naik ke atas motor dibantu Arga. Dan mereka langsung beranjak dari kediaman Asya.

Cuaca hari ini tiba-tiba berubah dari yang panas menjadi mendung. Semoga saja jangan hujan sebelum Asya sampai di kediaman Kila.

Selama perjalanan tidak ada yang membuka suaranya baik Asya maupun Arga. Asya yang sibuk memandangi awan mendung dan Arga yang fokus dengan perjalanannya. Hingga mereka tiba di suatu tempat yang membuat Asya bingung.

"Makam?" gumam Asya sambil melepas helm yang dipakainya.

Arga mencekal lengan Asya dan membawanya memasuki area makam. Asya hanya diam dan terus mengikuti kemana langkah Arga. Hingga mereka berhenti ketika sampai di depan makam yang terlihat masih baru.

"Kita ngapain ke sini?" tanya Asya.

"Tujuan kita pergi buat apa?" tanya balik Arga dingin.

Asya memukul kepalanya sendiri, heran dengan manusia yang sedang bersamanya. "Kak, jangan bercanda! Asya minta kita pergi ke rumah Kila bukan ke makam!"

Arga hanya diam, ia tidak bisa mengatakan apa-apa sekarang.

Asya menoleh ke arah nisan di sebelahnya. Tunggu! Kila Humaira? Setelah membaca itu, Asya berjongkok agar bisa melihat tulisan itu dengan jelas. Dan ia membacanya berkali-kali. Ia tidak salah baca kan?

Asya menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Ini apaan sih! Kenapa ada namanya Kila di sini?" tanya Asya emosi.

"Kak!" Asya berdiri di hadapan Arga, ia menatap Arga jengkel. "Kalian sekongkol nge-prank aku ya?" tanya Asya mengharapkan jawaban, namun Arga tetap diam.

"Kila ngumpet di mana?"

"Cepat kasih tahu aku!"

"Aku tahu ini bercanda, tapi nggak lucu!"

Sekali lagi ia mendekat ke arah Arga, menatap kedua matanya. Ia sama sekali tidak menemukan kebohongan di sana. Asya menggenggam kedua tangan Arga.

"Kak! Ngomong sama Asya kalau ini cuma prank! Ini bohong kan?" tanya Asya dengan suara bergetar. Matanya sudah berair, ia benar-benar sedih jika ini memang benar. Asya tahu ia sudah banyak bertanya, namun Arga tidak menjawabnya dan tetap diam.

"Oke aku kalah! Kalian menang!"

"Sekarang kasih tahu aku Kila ngumpet di mana?"

Arga menangkup kedua pipi Asya dan menatapnya dalam. "Aku tahu ini nggak sulit diterima, tapi ini memang benar terjadi."

Kalimat itu masuk ke dalam telinganya dengan jelas. Seakan seperti ditusuk dan terhempas. Apakah ia akan merasakan kehilangan seseorang yang ia sayangi. Lagi.

Dulu papah, sekarang Kila.

Hatinya hampa. Mengapa semua yang ia sayangi sering kali ingkar dan tiba-tiba pergi. Kila pernah berjanji akan selalu bersamanya tapi sekarang dia meninggalkannya. Kamu ingkar Kila!

Asya berjongkok, ia meremas gundukan tanah itu dibarengi air matanya yang terus mengalir dan jatuh.

"Lo nggak asik Kila!" teriak Asya emosi.

"Gue nggak punya teman buat nyontek lagi!"

"Gue harus ke kantin sendirian setelah ini?!"

"Lo tega banget, Kila!"

"Gimana kalau kak Dea nyakitin gue lagi!"

"Gue masih butuh saran lo buat dekati Barra!"

"Gue butuh orang kayak lo yang selalu sama gue Kila!"

"Gue maafin lo kok Kil! Tap-tapi lo harus terus sama gue!"

Ucapnya bertubi-tubi, menumpahkan emosinya. Ia tidak peduli jika ada orang lain yang melihatnya sekarang.

Ketakutan terbesarnya benar-benar terjadi. Kehilangan seorang sahabat yang paling ia sayangi. Ia tidak tahu lagi bagaimana kehidupannya setelah ini.

Pelanginya sudah hilang. Selamanya.

Hujan deras turun secara tiba-tiba. Hanyut bersama air mata yang terus mengalir. Gaun hitam sudah bercampur dengan lumpur. Tak peduli sekotor apa.

Alam pun paham dengan perasaannya saat ini.

Arga mendekap Asya dengan erat. Gadis itu terlihat lemah dan rapuh. Tidak seperti yang biasa ia lihat. Jujur saja, Arga tidak suka melihat seorang gadis menangis atau sedih. Apalagi yang sedih adalah orang yang ia cintai.

"Masih ada aku, Asya." ucap Arga di telinga Asya mencoba menguatkan gadis di dekapannya.

" ucap Arga di telinga Asya mencoba menguatkan gadis di dekapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌧🌧🌧

Jangan lupa voment!
Terima kasih.

aiunda(28/12/20)

CRYING UNDER RAIN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang