+ 41. MAMAH KEMBALI

90 9 23
                                    

Happy Reading!

🌧🌧🌧

Dingin. Ya memang begitulah yang orang lain tahu tentang Barra. Mungkin terkesan cuek, masa bodo dengan semua yang terjadi di sekelilingnya.

Namun, entah mengapa sekarang Barra sendiri merasa berbeda. Berkali-kali ia membuka handphonenya. Benar-benar sepi. Sejak gadis itu terluka olehnya, semua jadi berubah.

Apakah dia benar-benar berhenti untuknya?

"Masih belum ada kabar?"

Barra menggeser tubuhnya dan memberi ruang untuk Alex duduk di sebelahnya. Barra menggeleng setelah mendapati pertanyaan itu. Nyatanya sudah empat hari ia tidak bertemu atau mendapat kabar dari Asya. Sama sekali tidak.

"Gue dengar-dengar, dia kecelakaan." ucap Alex membuat Barra menatapnya kaget.

"Hah?" Bara membelalak, info pertama tentang Asya yang ia dapat adalah berita buruk. "Terus gimana?"

"Lo lihat aja sendiri, ada beritanya kok." ujar Alex sambil mengutak-atik handphonenya. "Nah! Nih lo baca!" Alex membuka sesuatu di handphonenya dan memberikan kepada Barra agar cowok itu membaca sesuatu yang ia tunjukkan.

Setelah selesai, Barra mengembalikan lagi handphonenya kepada Alex. Barra masih shock dengan kabarnya.

"Satu lagi yang mau gue tunjukkan." Alex mencari sesuatu lagi di handphonenya, setelah ketemu ia langsung memberikannya kepada Barra lagi.

Sebuah foto yang hanya memperlihatkan seorang cewek yang sedang meminum sesuatu di tempat semacam bar. Dengan slide di sebelahnya yang merupakan video berdurasi 19 detik yang menunjukkan seorang siswi di SMA mereka dalam ruang penyimpanan berkas.
***

Sudah empat hari lamanya Asya berbaring di ranjang rumah sakit dengan keadaan tak sadarkan diri.

Selama empat hari itu pula Arga lah yang menunggu cewek yang entah akan tersadar kapan. Cowok itu akan selalu disampingnya. Menjaga Asya dalam keadaan apapun. Sampai-sampai ia sengaja bolos demi menunggu Asya di rumah sakit.

Hingga mata Asya perlahan terbuka disambut silaunya cahaya lampu dan dinding putih biru. "Kila! Kila mana?" paniknya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Hal itu membuat Arga yang sedang tertidur bertumpu tangannya sendiri terbangun.

"Kila sudah nggak sakit, kamu istirahat aja dulu." jawab Arga santai. Ia hanya ingin Asya tenang dan tidak memikirkan apa-apa dulu sampai kondisinya kembali baik. "Udah bangun? Kepalanya masih sakit?"

Arga menanyakan hal itu karena saat Asya dibawa ke rumah sakit, ia terus mengatakan jika kepalanya terasa sakit. Ya, setelah kejadian itu Arga langsung mendapat kabar dan Arga segera menyusulnya ke rumah sakit.

"Enggak,"

"Mau makan?"

Asya menoleh ke atas nakas. Sudah ada makanan di sana. Sepertinya makanan yang disediakan dari rumah sakit. Penampilannya tidak menarik, tapi Asya lapar.

"Boleh deh."

Saat itu juga Arga langsung menuruti permintaan Asya. Ia menyuapkan makanannya ke mulut Asya. Jujur saja, Arga merasa lebih baik dibanding hari-hari sebelumnya yang buruk apalagi hari dimana ia mendapat kabar tidak menyenangkan tentang Asya.

Sebenarnya ada sesuatu yang membuat Arga menjadi agak sedih. Asya terus meracaukan nama Kila dan Barra saat dalam keadaan tidak sadar. Mengapa namanya tidak di sebut? Sedih kan. Tapi, ya udah lah.

"Kak,"

"Iya? Kenapa? Udah kenyang?"

"Asya sedih."

"Kok sedih?"

"Iya sedih, mamah kayaknya nggak sayang sama Asya ya?" tanya Asya mengedarkan pandangannya.

Ia tidak melihat keberadaan mamahnya di sini. Di sebelahnya. Disaat ia sakit seperti ini mamahnya dimana? Apakah masih berada di butiknya? Memangnya butiknya lebih berharga dibanding Asya sendiri?

Arga berhenti untuk menyuapkan makanannya. Ia menatap Asya. Gadis itu nampak benar-benar sedih. Seperti menginginkan mamahnya ada di sebelahnya saat ini juga.

Iya paham.

"Nggak ada sejarahnya ibu nggak sayang sama anaknya kan?"

Asya menoleh ke arah Arga. "Asya nggak percaya kalimat itu karena Asya nggak pernah dapat buktinya."

Tunggu! Ternyata menggunakan sebutan aku-kamu atau menyebut nama langsung itu terasa lebih nyaman.

"Disaat kamu kehabisan banyak darah karena luka di kepala kamu, siapa yang mendonorkan darahnya untuk kamu?"

Asya memegang lukanya sendiri di kepala yang sudah terbalut perban. "Siapa?"

"Mamah kamu, Asya."

Degh!

Ia merasakan hantaman yang cukup keras di dadanya. Ia salah? Benar-benar salah. Atau.. Ucapan Arga hanya penenang untuknya? Seburuk itu kah keadaannya beberapa hari yang lalu?

"A-asya nggak percaya."

Matanya benar-benar memerah dan mengeluarkan cairan bening yang jatuh ke pipinya. "Sejak papah nggak ada, mamah selalu sibuk dengan pekerjaannya tanpa pe-"

"Memangnya mamah kamu kerja buat siapa? Anak orang? Buat kamu kan?" potong Arga membuat Asya kembali berfikir.

"Assalamu'alaikum," ucap seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Refleks Asya dan Arga menoleh ke arah pintu.

"Mamah,"

Sari melangkah cepat, mendekat ke arah Asya dan mendekapnya. Asya hanya bisa diam dengan air mata yang terus keluar dari kedua matanya.

"Mah, maafin Asya."

"Asya maafin mamah juga ya, setelah ini mamah janji sesibuk apa pun akan mamah luangin waktu buat kamu." janjinya sambil mengelus kepala Asya dengan lembut.

Sari melepas pelukannya lalu menatap wajah Asya. Luka di wajah putrinya membuatnya sedih. Bagaimana bisa seorang ibu lalai untuk menjaganya.

Sebenarnya banyak yang ingin Sari tanyakan dan ada juga suatu hal yang harus Asya tahu. Namun keadaannya yang belum bisa dikatakan pulih membuatnya enggan untuk bertanya mau pun memberi tahu tentang itu.

Mungkin nanti jika keadaan sudah membaik.


🌧🌧🌧

Jangan lupa voment.
Terima kasih.

aiunda(27/12/20)

CRYING UNDER RAIN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang