16. Disuatu pagi

6K 881 60
                                    

Pagi ini Artha berangkat lebih pagi, karena ada jadwal piket kelas. Selepas memakai sepatu, ia berjalan santai ke garasi, untuk mengambil motor kesayangannya.

Hendak memasang helm dan memutar gas, ia dikejutkan oleh teriakan pembantunya dari dalam rumah. "Den Arthaa!!"

Artha melepas helm, dan turun dari motor untuk menghampiri. "Ada apa, Bi?"

"Ini Den, bekal nya sampean ketinggalan." ujar sang pembantu yang berkisaran umur tiga puluhan keatas.

"Kan, Artha bisa makan di kantin Bi. Gausah repot-repot bikinin Artha bekal," kata Artha seraya menerima kotak bekal yang di berikan si Bibi, sebut saja Bi Ina.

"Gak repot kok, Den. Yaudah gih, sampean berangkat, katanya ada jadwal piket," ujar Bi Inah dengan nada khas Jawanya.

Artha tersenyum, sembari meraih tangan Bi Inah lembut. "Artha berangkat. Assalamualaikum, Bi."

"Waalaikumsallam. Hati-hati ya Den," Artha yang sedang memasang helm, mengangguk.

"Bibi juga hati-hati di rumah. Kalo ada apa-apa, langsung telfon Artha aja. Pasti Artha langsung kesini."

"Den Artha nggak usah khawatir sama bibi, nanti kalo ada yang macem-macem, Bibi tendang tu burung."
kata Bi Inah seraya terkekeh.

Artha tersenyum samar. Ia jadi teringat perkataan Adiba kemarin malam, setelah pulang dari mall.

Sekarang gimana kabarnya tu cewek?

"Den Artha?" panggil Bi Inah menyadarkan Artha dari lamunan sekejabnya.

Artha yang tersadar kemudian tersenyum di balik helm nya. "Yaudah, Artha berangkat. Assalamualaikum,"

Bi Inah mengangguk. "Waalaikumsallam."

Lalu, Artha keluar dari halaman depan rumahnya bersama motor kesayangan yang siap untuk membelah padatnya jalanan.

☠️☠️☠️

Adiba berjalan santai di sepanjang koridor sekolah yang masih terbilang sepi. Hanya ada dua atau tiga anak yang sudah datang.

Ia berangkat pagi-pagi karena ingin mengerjakan PR matematikanya yang belum sempat ia kerjakan tadi malam. Yah, karena berpesta makanan bersama Agil hingga larut malam.

Hingga di sebuah belokan, ia menabrak dada seseorang lumayan keras. Padahal matanya sudah ia pakai untuk berjalan.

"Aduhh, ini siapa sih?! Jangan gak liat-liat!" omelnya sambil memegang kening yang lumayan merah.

"Oh," kata orang itu.

Adiba mendongak, melihat siapa pelakunya. Bisa-bisanya dia sudah mengomeli tapi hanya di jawab 'Oh'.

"Loh, Kak Artha? Tumben berangkat pagi-pagi?" Adiba terkejut. Telapak tangan kanannya masih setia memegang kening.

Artha menunjukkan sapu dan kemoceng yang ia bawa. "Piket."

Adiba membulatkan mulutnya.

"Sakit ga?" tanya Artha.

"Hah?"

Artha menunjuk kening gadis itu. "Jidat lo,"

Spontan Adiba menurunkan telapak tangannya. "Enggak kok."

Artha mendekat. Ia tak percaya omongan Adiba, buktinya, kening gadis itu agak memerah. Pasti nyeri. Apalagi yang ditabrak dadanya, udah tau dadanya Artha keras. Lo kira tulang tong keras?

Membungkuk dan menyamakan tinggi gadis yang ada di hadapannya ini. Secara spontan, Adiba memundurkan kepalanya. "Lihat."

"Lihat? Lihat apaan sih, Kak?" Artha mengarahkan pupil matanya ke kening Adiba.

Artha [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang