Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Dapat dipastikan, semua regu sudah menunjukkan kebolehannya saat acara api unggun tadi. Kini, sudah dapat ditebak, acara selanjutnya ialah jurit malam.
Pertama, semua siswa maupun siswi diminta untuk berkumpul sesuai regu. Lalu, mereka akan diberikan peta dan satu buah lilin.
Setelah mereka sudah mendapat kedua benda tersebut, para regu diminta untuk masuk ke dalam hutan guna melatih mental.
Masing-masing regu bergantian masuk. Mereka akan melewati pos pertama, dilanjut pos kedua, dan yang terakhir ialah pos ketiga.
Regu pertama, kedua, dan ketiga mulai memasuki area. Dilanjut regu dari Artha, dibelakangnya ada regu dari Anta dan juga Ardan, sedangkan Aksa dan Hilwa menempati regu tujuh.
Adiba berusaha menahan takut saat kakinya sudah berpijak di area hutan. Sungguh demi apapun, hutan pada malam hari lebih menakutkan dibanding tadi siang waktu dia mencari Artha.
Bolak-balik ia celingukan ke kanan dan kiri. Takut bila ada hewan buas yang tiba-tiba menerkam.
"Kak, gue takutt." Jesica merapat ke tubuh Artha yang berada di depan.
Adiba yang melihatnya, memandang tak suka. Bukan, bukan karena ia dirundung cemburu, tapi ia risih.
"Lepas," Artha menghempaskan tangan Jesica yang bergelanyut manja di lengannya.
Ia risih jika ada perempuan yang kelakuannya kayak Jesica. "Tapi kan gue takut, Kak."
Artha melirik sinis. "Caper."
"Udahlah Jes, gausah drama. Jalan yang bener, kalo lo mencar terus ilang, siapa yang repot ntar?" ujar Gilang yang berada di belakang sendiri.
"Apaan sih! Terserah gue." jawab Jesica sewot.
"Dih," Adiba berkata spontan.
Tiba-tiba Artha berhenti yang tentunya mengundang tanya dari anggotanya. "Ada apa, Kak?" tanya Adiba.
"Ada ular lewat," kata Artha santai.
Berbeda dengan penuturan Artha yang begitu santai, ke empat perempuan yang ada di belakangnya justru heboh tak karuan.
Terlebih Jesica. Gadis itu bahkan sampai teriak dan mencak-mencak heboh. "AAA MANA ULAR?!? MANA ULARNYA?! HUWAA!!"
Adiba mundur-mundur, takut kalau ular itu berjalan ke arahnya. Lagipula, situasi saat ini gelap. Hanya satu lilin sebagai penerangan, dan lilin itu tengah dipegang oleh Artha selaku ketua regu.
Adiba terus mundur, sampai tak sadar kalau ada sebalok kayu yang sanggup membuatnya terjungkal ke belakang.
"Huwaaa.." Adiba terpekik.
Mendengar suara pekikan Adiba, seluruh anggota regu langsung berpusat ke Adiba. "ADIBA!" seru Artha.
Segera ia berikan peta dan lilin itu kepada Sevan, kemudian ia langsung menggapai tangan Adiba yang sudah berlumuran lumpur. Membantunya berdiri.
"Aduhhh, pantat gue.." lirihnya.
"Lo gapapa?" Artha mencoba membantu Adiba berdiri.
"Gapapa, tapi pantat gue ngilu." adunya.
"Eh, Dib, kaki lo berdarah." ujar Dewi ketika melihat celana yang Adiba kenakan robek dan memperlihatkan kulit putih gadis itu yang tergores.
Adiba menunduk, mencoba melihat keadaan kakinya. Benar saja yang dikatan Dewi, kakinya tergores dan mengeluarkan darah.
"Sshhh," desis Adiba menahan perih.
"Bisa jalan?" tanya Artha.
"Bisa kok,"
Artha menatap Adiba tak yakin. "Sevan, lo yang mandu." perintah Artha tegas.
"Gue yang mandu?" Artha bergumam sebagai jawaban.
"Lo dibelakang gue," perintah Artha kepada Adiba yang tengah mencoba menahan perih, tatkala lukanya tersapu angin.
"Ck, dasar kerjaannya caper melulu sama suami gue." sindir Jesica.
Mendengar sindiran Jesica, Adiba mencoba menahan amarah. Baru saja ia akan membalas perkataan Jesica, keburu segenggam tanah liat nemplok mengenai baju jamet milik Jesica.
"Jan ngimpi." sinis Artha.
Yap, pelaku pelemparan tanah liat itu tak lain adalah Artha, yang sudah geram karena kelakuan Jesica sejak tadi siang.
"Kak Artha jahat banget sih?!" ujar Jesica protes, yang tak diindahkan sang lawan bicara.
"Heh, Jes, lo bisa diem gak sih?! Kalo lo terus ngoceh, kita ga bakal sampe ke pos pertama." geram Devan.
"Tau lo! Dasar beban." tambah Gilang.
"Udah Jes, jangan buat drama lagi ya." kata Angitta yang diangguki oleh Dewi.
"Iya! Bacot amat kalian." jawab Jesica kesal.
"Lo yang ngebacot celeng!" sahut Devan.
Jesica hendak menjawab tapi disela oleh Sevan. "Udah, jangan tengkar, ayo jalan lagi."
Sevan mulai melanjutkan perjalanan, diikuti ketujuh orang di belakangnya. Adiba meringis pelan saat kaki kanannya ia gerakkan. Perih banget gilak!
Artha menoleh ke belakang. "Bisa jalan ga?"
Adiba mengangguk. "Bisa kok. Udah lo jangan khawatirin gue, jalan aja sama temen-temen."
Artha mengangkat satu alisnya. "Siapa yang khawatir?"
Adiba tersenyum lebar. "Enggak, ga ada yang khawatir."
Artha kembali menghadap ke arah depan. Gue khawatir?
Setengah jam regu empat berjalan menyusuri hutan untuk sampai ke pos pertama. Dan dari setengah jam itu, Adiba berusaha mati-matian menahan rasa perih nya.
Bahkan bibir gadis itu sudah memucat. "Shhh,"
Mendengar ringisan Adiba, Artha berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Kenapa?"
"Ga kuat jalan." jawab Adiba sambil sesekali meringis.
Artha jongkok guna melihat luka Adiba tadi. Matanya terbelalak, ketika melihat darah darah akibat luka goresan tadi tak kunjung berhenti. Berarti sedari tadi, gadis ini berjalan sambil meneteskan darah?
Segera Artha merobek kaos yang ia pakai untuk menahan darah yang keluar lebih banyak. Sepertinya luka di kaki Adiba cukup dalam.
"Duduk dulu," Artha membantu Adiba duduk di depannya.
Setelah Adiba sudah duduk sempurna, Artha kemudian melilitkan sobekan kaosnya di kaki gadis itu. "Tahan,"
Adiba menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. "Perih, Kak."
"Gue tau." Artha masih fokus melilitkan kain kaosnya.
Ketika pekerjaan nya sudah selesai, ia menatap Adiba. "Ceroboh,"
Netra abu-abu itu mendelik. "Ya mana gue tau, kalo ada kayu tadi di belakang gue."
"Alesan," Adiba berdecak kesal.
Kemudian Artha bangkit, hendak meminta lilin yang dipegang Sevan. Tapi pergerakan nya terhenti saat tau kalau ke enam orang yang tadi berjalan bersamanya telah menghilang.
"Sevan!" panggil Artha keras. Berharap Sevan dapat mendengarnya.
"Kenapa Kak?" Adiba bertanya.
"Kita ditinggal." jawab Artha yang mampu membuat jantung Adiba lemas seketika.
☠️☠️☠️
agak pendek part ini, ehehe
diketik dengan 915 kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha [Completed]
Teen Fiction"Dalam lakuna, aku mencari kamu yang menyebutku renjana." -Artha Bramansyah *** Artha Bramansyah, seorang siswa sekaligus pria tampan yang paling digandrungi di SMA nya. Sifatnya yang cuek, suka berubah-ubah, dan juga dingin, secara tak sengaja dipe...