11. Desiran

6.5K 920 8
                                    

"Tha, lo mau kemana?" tanya Aksa setelah meneguk habis air mineral yang entah milik siapa itu.

"Tata usaha." jawab Artha.

"Ngapain kesana?" sahut Ardan.

"Pipis,"

Mata ketiganya terbelalak.

"Woy! Yang bener aje lu! Gue serius tanya bege!" teriak Ardan.

"Gue duluan."

Artha Bramansyah. Dua kalimat yang sudah cukup umum di kalangan remaja. Siapa pula yang tak kenal Artha?

Ganteng, ketua basket, tajir melintirr, ditambah, Ayahnya adalah pemilik saham terbesar di Indonesia, dan juga donatur tetap di SMA BS selain orang tua Ardan, Aksa, dan Anta. Dari gosip yang beredar, Artha adalah pewaris satu-satunya grub Bramansyah.

Yang jadi calon istrinya auto meninggal sedetik. Siapa juga yang nggak mau jadi menantu nya anak konglomerat?

Peringainya susah untuk dideskripsikan. Kadang dingin, humoris, romantis, dan gajelas. Tapi lebih banyak yang dinginnya sih. Iya lah, orang tu cowok aja lahirnya di Kanada. Selagi, Kanada adalah negara terdingin di dunia setelah Antartika, Kutub Utara, Kutub Selatan, dan kutub-kutub yang sejenis.

Ditambah, ibunya waktu hamil si kulkas ini, suka ngidam nyemilin es batu. Kebayang gak tuh.

Lagi enak-enakan jalan di pinggir lapangan, tiba-tiba dari arah samping ada basket yang menghantam kepala Artha.

Enggak sakit sih, tapi cuma berdarah dikit di area pelipis.

Menatap basket yang masih memantul di hadapannya dengan marah. Kemudian berpindah ke arah lapangan dimana ada seseorang melemparnya. Entah sengaja atau tidak.

Ia tersenyum miring ketika mengetahui Adiba lah yang melempar. Dari gerak-geriknya pun sudah mengatakan bahwa gadis itulah pelakunya.

Berjalan mendekat sambil membawa basket.

"Dib, lo di samperin tuh sama Kak Artha." bisik Hilwa.

Adiba mengintip dari sela-sela jarinya. Ia menggeleng sambil berbalik badan.

"Gue mau kabur dulu. Bye Hil," hendak ngacir pergi, tapi keburu ditarik oleh Artha.

"Kemana?" tanya Artha.

Tangan kekarnya mencengkeram seragam olahraga bagian leher belakang Adiba.

Adiba nyengir sambil balik badan. "K-ke to-toilet hehe."

"Lo yang lempar?" Adiba meneguk salivanya susah payah.

"Bu-bukan gue Kak. Si Hanif tuh yang ngelempar." tuding Adiba ke arah Hanif.

"Apa-apaan lo! Seenak jidat pake nuduh gue lagi. Orang jelas-jelas lo yang ngelempar tadi." jawab Hanif tak terima.

Goblok banget sih jadi ketu. Kagak bisa apa, bantuin anggotanya?! Awas aja lo nanti kalo di kelas.

"Jadi?" Artha menaruh basket yang ia pegang di samping kepala Adiba.

"Iya-iya, gue yang ngelempar. Lagian juga enggak sengaja. Lo nya sih ngapain jalan disitu?" Adiba mengaku.

Hilwa menepuk keningnya. "Itukan jalan umum Dib! Lagian siapa aja juga boleh lewat situ."

Adiba cemberut. Ia menggoyangkan pundaknya agar Artha melepaskan cengkraman tangan yang masih setia di kaosnya.

Ia mendongak. Menatap wajah Artha dari arah bawah. Karena tingginya tak memadai. Matanya juga menyipit karena terhalau sinar matahari.

"Udah ya, Kak. Gue sama Hilwa mau ke kantin." Adiba hendak pergi, tapi lagi-lagi ditahan.

Artha [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang