Rahman meletakkan tubuh Adiba di kursi kayu dengan susah payah. Karena Adiba berat. "Hadeuhhh, capek bener gendong ni bocah. Pinggang gue rasanya encok,"
Sementara Robi mengambil tali yang diletakkan di dalam lemari. Lalu, ia ikat tangan dan kaki Adiba lumayan kuat agar gadis cantik ini tidak kabur.
Rahman menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan anggota yang lainnya. "Ini pada kemana ya? Sepi amat ni markas."
Robi mengedikkan bahu acuh. "Mungkin lagi keluar cari makan,"
Rahman dan Robi kemudian berjalan ke sudut ruangan yang telah tersedia sofa yang lumayan lusuh, mereka berdua duduk disana dengan nyaman.
Sambil menyebat sepuntung rokok, mereka berdua memejamkan mata karena lelah.
Sementara itu, Adiba yang sedikit demi sedikit mulai tersadar, berusaha memastikan dirinya ada dimana.
Ketika nyawanya sudah terkumpul maksimal, netra abu itu langsung meneliti setiap ruangan yang dia tempati saat ini.
Begitu lembab, gelap, dan kotor. Di atap, banyak sekali sarang laba-laba. Sedangkan di ubin, terdapat banyak sekali botol minuman keras, dan puntung rokok.
Bau pengap juga mendominasi tempat ini. Ini bukan rumah pondok, tapi lebih tepatnya gudang yang terbengkalai.
Adiba mendapati kedua preman itu telah memejamkan mata dengan satu rokok di tangan. Dalam hatinya ia mengumpat.
"Goblok banget sih, tidur sambil ngebawa rokok." gumamnya.
Meringis pelan ketika kakinya tak sengaja ia goyangkan. "Shhh, perih."
Adiba baru ingat kalau kakinya terluka, secara refleks ia melihat ke bawah untuk memastikan keadaan kakinya.
Hal yang pertama ia lihat adalah sobekan kain yang membungkus lukanya. Ia tersenyum simpul. Itu adalah kaos Artha.
Tunggu. Bagaimana keadaan cowok itu setelah jatuh tergelincir tadi? Mata Adiba langsung membola.
Ia harus keluar dari sini untuk membantu cowok es itu. Adiba menggoyangkan kursi agar bisa membuat tali yang diikat di tangannya sedikit terbuka.
Tapi bukannya membuat tali itu terbuka, malah membangunkan kedua preman.
"Heh! Lo mau kabur ya?!" semprot Robi.
Adiba mendelik. "Kenapa? Ga boleh? Lagian kalian siapa sih?! Seenak jidat main culik gue!"
Rahman berjalan mendekat. Ia menangkup pipi gadis itu keras, sehingga membuat bibir Adiba monyong ke depan. "Lo bisa diem ga? Oh gue tau, lo mau gue cium kan?"
Adiba berusaha menahan muntah. Ia menoleh ke samping agar wajahnya tak terlalu dekat dengan pria yang ia akui cabul.
"LEPASIN!" bentak Adiba tepat di depan wajah Rahman.
"Enak aja lo kalo ngomong. Ga bakal kita lepasin," Rahman mengambil selotip hitam guna membungkam mulut Adiba, agar gadis itu tidak berisik.
Adiba memberontak, tak mau jika mulutnya harus di bungkam secara paksa. "Ha mahuu, hepahin huee!!" [Ga mauu, lepasin guee!!]
Rahman tersenyum manis, tapi di mata Adiba senyuman itu begitu menjengkelkan. "Baik-baik ya gadis cantik." Rahman menepuk pipi Adiba pelan.
"Man, ayo keluar, ternyata bos sama yang lain nya ada di sebrang. Mereka gatau kalo dia kita bawa kemari," ujar Robi setelah mendapat pesan dari sang ketua.
Rahman mengangguk, mengiyakan perkataan rekan nya. Ia lalu balik menatap Adiba. "Diem disini, jangan kemana-mana."
Setelah itu, keduanya berlalu pergi ke luar. Adiba memandang sinis kepergian keduanya. "Hasar heman ha hahu hiri ho! Hahingannn!!!" [Dasar preman ga tau diri lo! Bajingannn!!!]
KAMU SEDANG MEMBACA
Artha [Completed]
Teen Fiction"Dalam lakuna, aku mencari kamu yang menyebutku renjana." -Artha Bramansyah *** Artha Bramansyah, seorang siswa sekaligus pria tampan yang paling digandrungi di SMA nya. Sifatnya yang cuek, suka berubah-ubah, dan juga dingin, secara tak sengaja dipe...