Untuk sekarang semua hal tentangmu mungkin terdengar seperti hayalan. Tapi percayalah, selamanya kau selalu ku semogakan.
***
Asha meluruskan kaki, dia memijat kakinya perlahan. Ternyata menaiki puluhan anak tangga itu benar-benar melelahkan. Jika tau begini, Asha pasti tidak akan lagi mau menginjakan kaki di rooftop seperti sekarang.
Asha menatap sekelilingnya. Rooftop ini sangat sepi hanya ada embusan angin yang menerpa rambut panjangnya. Setelah merasa rasa sakit dikakinya mulai mereda, Asha memilih untuk berdiri lalu menyusuri rooftop yang baru kali ini dia datangi.
Melihat sebuah pintu, rasa penasaran pun langsung menghinggapi dirinya. Dengan perlahan, Asha mendekat lalu meletakan telinganya pada daun pintu. Asha bisa mendengar ada suara – suara aneh dari dalam. Dengan tekad dan keberanian yang hanya sebesar biji jagung, Asha mulai menggerakan tangan untuk membuka pintu.
Asha menghentikan pergerakan tangannya, dia melihat ada tangan lain yang menggenggam tangannya. Membulatkan mata, Asha berusaha untuk berteriak, namun dengan cepat Prima menutup mulutnya lalu menyeret Asha menjauhi pintu.
Asha memberontak. Prima dengan cepat meletakan telunjuk pada mulutnya berusaha membuat Asha diam. Asha menghentikan aksinya, dia meminta Prima melepaskan tangannya dari mulut Asha.
Prima melakukan permintaan Asha. begitu tangan prima menjauh dari mulutnya. Asha langsung menghirup udara dengan rakus. "Lo gila?!" Asha menaikan intonasi suaranya namun tidak sampai berteriak.
"Gue kan udah bilang diem. Batu banget sih jadi cewe." Prima balik memarahi Asha.
Merasa tak terima, Asha ingin membalas, namun Prima lebih dulu menyumpal mulut Asha menggunakan roti. Untung saja Asha tak sampai tersedak.
"Lo bener-bener udah gila!" Asha kembali meninggikan intonasi bicaranya. Prima tak menggubris Asha, dia sibuk menatap pintu.
"Lo ngapain sih? Emang di dalem itu ada apaan?" lagi-lagi Asha melontarkan pertanyaan yang menurut Prima sama sekali tidak penting. Merasa menyumpal mulut Asha memakai roti tidak membuahkan hasil, Prima mencari cara lain.
"Sekali lagi lo ngomong. Gue pastiin bibir lo yang gak seksi itu gue tabrak." Ancaman Prima membuahkan hasil. Dia tersenyum tipis saat Asha refleks memegang mulutnya. Asha juga menggeser diri menjauhi Prima.
Shibil. lo lucu banget sih.
Prima tentu hanya bisa memuji Asha dari dalam hati.
Mengacuhkan Prima yang tetap diam. Asha memilih kembali melihat ke arah pintu, mata indah miliknya membulat sempurna tatkala dua orang yang Asha kenal keluar dengan penampilan sedikit berantakan.
"Loh, itu kan Satria sama Mutiara. Mereka abis ngapain sih?" Asha dilanda bingung. Dia masih tidak mengerti kenapa seorang Satria alias cowok yang dia kagumi karena kepintarannya bisa keluar dari sebuah ruangan dengan Mutiara cewek centil dan sok cantik yang sering membuat mata Asha sepet.
"Dari penampilannya mereka pasti abis goyang." Prima menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak Asha tanyakan padanya.
Asha menoleh, dia sudah terlanjur penasaran. "Emangnya di dalem ada studio musik?" tanya Asha polos.
Prima menghela napas. Dari pada meladeni Asha, dia lebih memilih pergi. Toh, niat awalnya kesini hanya ingin mencari udara segar.
Asha ikut berdiri. Dia menahan tangan Prima, sengaja menghentikan pergerakan Prima.
"Lepasin tangan gue. Gue gak mau ya. Lo suka sama gue." Prima menatap Asha kesal. Asha sendiri membalas dengan tak kalah kesal.
"Idih amit-amit tujuh turunan, gue gak akan suka sama lo. Gue cuma mau kita bareng ke bawahnya." Asha memasang wajah memelas, dia sangat berharap bahwa Prima akan luluh.
"Dih, ngapain? Lo kesini sendiri kan?"
Asha mengangguk.
"Yaudah, kebawah juga sendiri lah. Sok banget mau di temenin kek cewek aja lo." Prima berujar ketus. Dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Asha yang di selimuti kekesalan.
"Dasar! Primata terkutuk ganteng!" Asha berteriak. Dia pikir hanya dirinya yang bisa mendengar apa yang ia ucapkan.
Tapi pada kenyataannya Prima bisa mendengar dengan jelas teriakan Asha. Teriakan itu membuat dirinya menepi, dia tersenyum manis sambil menggeleng pelan. "Dasar, Shibilang sayang tapi gengsi," gumam Prima pelan.
***
Asha memasang wajah kecut. Lingkaran hitam di sekitar matanya semakin kentara, dia sedang di landa kebimbangan. Di satu sisi dia harus menyelesaikan naskah novel terbaru miliknya disisi yang lain revisi skripsinya juga harus selesai.
"Plis , nikahin adek bang," teriak Asha frustasi.
Bi inah yang mendengar teriakan Asha hanya bisa menggeleng pelan. Dia menyodorkan secangkir kopi pesanan Asha. "Atuh neng geulis, kalo capek itu istirahat neng. Bukannya teriak-teriak kayak di hutan."
Asha melirik bi Inah. "Bi, bibi mah gak ngerti penderitaan Asha. Anak semester akhir itu perasaannya suka terombang ambing kek layangan. Aduh pokoknya susah di mengerti deh bi."
Bi Inah hanya diam. Seperti yang Asha bilang, dirinya yang hanya penjual gorengan, mana tau rasanya jadi mahasiswi semester akhir.
"Eh neng, bibi punya kenalan dukun loh." Bi inah kembali beraksi, dia berusaha sok pintar dengan menawarkan dukun kenalannya.
"Bi, kalo mau main dukun sendirian aja deh. Asha terlalu sibuk buat yang gituan, mending bibi bikinin Asha kopi satu lagi. Asha lagi di kejar deadline nih."
Bi Inah mengangguk. Wanita berusia lima puluh tahun itu undur diri.
Asha kembali sibuk mengetik. Tapi hasilnya nihil, tulisannya tidak berkembang sama sekali. Merasa kesal, Asha memilih untuk mengambil kopi miliknya, tangan Asha berusaha meraba kopi yang sudah di bawakan oleh bi Inah.
"Aih, bi Inah ngerjain gue lagi." Asha bersiap untuk berteriak, dia menoleh lalu mendapati Prima yang tengah meminum kopi pesanannya tanpa beban.
"Eh, lo tuh ya! Gak tau malu banget! Itu kopi punya gue! Maen asal minum aja lo!" Asha sudah melontarkan banyak kata dari mulutnya. Namun Prima sama sekali tidak merespon. Dia malah dengan sengaja menghabiskan kopi milik Asha.
"Alhamdulillah dapet kopi gratis." Prima meletakan gelas kopi yang isinya sudah dia habiskan. Benar-benar gak ada akhlak.
Prima bangkit dari duduknya.
"Oyy! Lo udah minum kopi gue!" Asha ikut berdiri. Dia menahan Prima yang akan pergi.
"Oh itu kopi lo? Perasaan gak ada tulisannya." Prima menjawab tanpa dosa.
"Bodo! Pokonya gue mau lo ganti kopi gue! Se-ka-rang juga!" Asha semakin membentak. Dia rasa sebentar lagi dirinya akan semakin tua. Karena setiap bertemu Prima, Asha selalu saja marah-marah.
Prima mempersempit jarak antara dirinya dan Asha. Asha tiba-tiba saja terpaku, dia hanya bisa diam mematung saat Prima semakin menatapnya intens. Gila! kenapa ni jantung gue bereaksi lagi. Plis deh Sha lo itu seorang penulis, adegan gini doang jangan sampe baper dong. Ketauan banget sih kalo ni hati tipe senggol dikit ambyar.
Prima tersenyum tipis, dia begitu menikmati wajah tegang milik Asha. Merasa puas, Prima memilih membisikan satu hal agar Asha semakin ambyar. "Kopi lo pasti gue ganti. Gue ganti pake kopinang kau dengan bismillah."
Boom!
Jantung Asha semakin berdebar tak karuan. Layaknya sedang ada dangdutan di dalam rongga dada miliknya. Asha kembali duduk, dia memegang dadanya. Asha-Asha lo itu bener-bener tipe senggol dikit ambyar banget, sih. Kalo gini terus, bisa-bisa lo beneran jatuh cinta lagi sama si Primata terkutuk ganteng itu.
***
Happy Satnight kalian. 😄
Masih awal jadi jangan bosen ya. 😄 Kisah mereka masih panjang soalnya.
Dan pastinya mereka butuh kalian.Bye
Calon istrinya jodoh 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [ END ]
RomanceArasha Shibilla, seorang penulis novel horor terkenal kembali bertemu dengan Adinar Primasatya Azmilo sahabat sekaligus cinta pertamanya, pertemuan tanpa sengaja ini membuat takdir terus saja mempertemukan Asha dengan Prima. Gara-gara sering bertemu...