Insiden Dompet

470 107 171
                                    

Seminggu berlalu dengan cepat.  Asha masih tetap rebahan walau sudah seminggu berada di rumah orang tuanya. Orang tua Asha juga membiarkan anak gadis satu satunya itu untuk tetap santuy, karena mereka tau bahwa Asha sudah bekerja keras selama di Jakarta.

Belum lagi perubahaan penampilan Asha saat datang membuat kedua orang tua Asha bersorak riang. Mereka bersyukur karena sekarang Asha sudah mau memakai jilbab. Padahal, dulu waktu masih SMA, Putri dan Arif sangat kesulitan dalam membujuk Asha. Namun, kini mereka sadar, hidayah akan datang di saat yang tepat.

Putri mengetuk pintu kamar Asha, dia sedikit mengeraskan suara berupaya untuk membuat Asha terbangun. "Billa sayang, Bunda boleh masuk?"

"Iya Bun, masuk aja," jawab Asha sedikit berteriak, sepertinya dugaan Putri tentang Asha yang masih betah tertidur salah besar. Buktinya, saat Putri membuka pintu dia menemukan Asha yang tengah berkutat di depan laptop miliknya.

Putri berjalan mendekat, dia mendudukan diri di samping Asha. "Billa, lagi ngapain?"

Asha menoleh pada Putri. "Lagi ngecek laporan keuangan Bun, kenapa memangnya? Bunda mau Billa keluar rumah?" Asha bertanya seperti itu karena Putri sudah berulang kali membujuk Asha untuk menikmati pemandangan di luar rumah. Namun, Asha enggan melakukan itu, dia enggan bertemu dengan banyak orang.

Putri terdiam, diamnya Putri membuat Asha merasa bersalah. "Iya deh, nanti malem Billa keluar, ada pasar malem kan di alun-alun?" tanya Asha memastikan.

Putri tersenyum manis. "Nah, Alhamdulillah, bagus atuh lah, Bunda seneng kalo kamu teh mau keluar rumah, siapa tau kan nemu jodoh di jalan." Putri tersenyum mengejek. Jujur walau tau putrinya masih belum lulus kuliah, Putri sangat ingin melihat Asha menikah, tetapi Asha selalu menolak dengan alasan belum bertemu jodoh. Padahal, sudah banyak orang yang datang ke rumah, berniat untuk melamar Asha.

Asha enggan merespon, dia melirik tangan Putri yang tengah menggenggam sesuatu. "Bunda bawa apaan?"

"Oh, ini, undangan pernikahan, temen SMP kamu ada yang nikah." Putri menyodorkan undangan itu pada Asha. Asha menerimanya tanpa minat, dia masih belum mengerti bagaimana bisa teman-teman SMPnya menikah secara serentak, belum lagi Asha yang tak pernah keluar rumah selalu mendapat undangan, Asha merasa aneh, bagaimana bisa teman-teman SMPnya itu tau kalau Asha ada di rumah?

"Kok bisa, sih, mereka tau kalo Billa pulang, Bun? Padahal kan, Billa gak ada keluar rumah, belum lagi, Billa gak pernah posting apapun di sosmed—" Asha mengerjap, dia memicingkan mata saat menatap Putri,"—Jangan bilang, Bunda yang posting, ya?"

Putri tersenyum polos, jika sudah begini dia tidak mungkin mengelak. "Iya, Bunda emang posting, soalnya kan buat kenang-kenangan, apalagi Billa anak gadis Bunda satu-satunya, memangnya salah?"

Asha mengembuskan napas, dia tidak mungkin marah-marah pada Bundanya. "Enggak salah kok, yaudah siniin undangannya, biar Billa simpen." Asha menyodorkan tangan, Putri dengan senang hati memberikan undangan pada Asha. Selesai dengan niatnya ke kamar Asha, Putri langsung pergi keluar kamar meninggalkan Asha yang di penuhi rasa kesal.

Asha melirik ke lima undangan yang dia letakkan di atas nakas. Bibirnya mencebik, dia memutar bola matanya malas. "Ngapain, sih, mereka pake sok ngundang gue. Males banget, tapi bunda pasti nyuruh dateng, terus bilang, 'makanya, cari jodoh, biar gak kondangan sendirian' ishh, ngeselin banget!" Asha bermonolog seraya mengikuti gaya Putri jika sedang mengejek dirinya, jujur, Asha kesal, sangat kesal, tapi mau sekesal apapun. Asha tetap harus datang dan berbesar hati dengan status jomlo yang masih melekat pada dirinya.

***

Asha masih berdiri di dekat stand makanan, dia sedikit menyesali keputusannya untuk pergi ke pasar malam. Karena, setelah sampai disini dan melihat banyak bucin yang bergandengan tangan, Asha baru ingat, kalau ini adalah malam minggu.

My Destiny [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang