"Punya satu aja sahabat yang sefrekuensi, hidup kalian pasti berwarna."
***
Asha menguap, dia sangat mengantuk karena Bunga memberikan siraman kolbu di pagi buta. Pagi ini, tepat setelah shalat subuh, Asha di kejutkan oleh panggilan video call dari Bunga, dia terus saja mendengarkan ocehan Bunga karena kecerobohan dirinya yang memberikan ATM pada orang asing.
Asha meletakkan ponselnya pada tripod miliknya, dengan wajah menahan kantuk Asha melihat Bunga yang sudah berhenti berbicara. Gadis dengan piyama berwarna ungu muda itu tengah sibuk menegak minuman yang diberikan oleh Shinta.
Melihat ketiga sahabatnya berada di kamar milik Bunga, Asha menyimpulkan bahwa mereka semalam membuat pesta piyama tanpa dirinya. Asha ingin marah, tapi penjelasannya jauh lebih penting. Tolong, ingatkan Asha untuk memarahi Bunga, Cahya dan Shinta nanti.
"Udah marahnya?" Asha melontarkan pertanyaan, dia menatap Bunga yang sudah jauh lebih tenang di banding tadi. Shinta dan Cahya juga sudah bergabung, ini berarti saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
"Udah, sekarang, lo bisa keluarin pembelaan lo." Bunga mengizinkan Asha membela diri. Sudah tradisi bagi mereka ber empat untuk saling melontarkan pendapat sampai tuntas. Mereka tidak suka berdebat dengan memotong penjelasan sahabatnya. Itulah sebabnya Asha membiarkan Bunga mengeluarkan argumennya, karena setelah Bunga puas Asha bisa melakukan pembelaan.
"Okey, gue ngaku, gue salah, karena gue udah ngasih ATM yang isinya uang kita bersama ke orang asing. Itu semua murni karena kesalahan gue yang pelupa, gue minta maaf. Tapi gue ngelakuin itu bukan tanpa alasan. Gue kasian sama anak itu. Mamanya sakit, dia butuh uang buat operasi. Dia kacau, dia frustasi, dia ngerasa gak ada lagi orang baik di dunia ini, persis kayak gue dulu, sebelum ketemu kalian." suara Asha sedikit bergetar, ingatannya terbang pada hari dimana dia menangis frustasi di tengah hujan, Asha yang waktu itu belum menjadi Asha yang sekarang, pernah mengalami hal menyakitkan seperti Gio.
Dia pernah merasakan posisi Gio, merasakan frustasi, merasakan bahwa dunia ini kejam pada orang-orang kecil seperti dirinya. Hingga, tak berapa lama, dia bisa merasakan hujan berhenti membasahi tubuhnya. Asha mendongak, ia menampilkan wajah yang sudah basah karena air mata dan hujan. Hal pertama yang dia lihat adalah senyuman tulus dari Shinta, wajah datar Cahya lalu wajah ketus milik Bunga. Awalnya, Asha tidak nyaman dengan sikap Bunga dan Cahya tapi seiring berjalannya waktu mereka berubah, mereka jadi saling menjaga dan saling mengingatkan, persahabatan mereka menjadi semakin erat.
Asha kembali melanjutkan ucapannya, "Iya, gue sadar tindakan gue ini pasti di bilang tindakan bodoh. Tapi waktu itu gak ada cara lain, gue gak bawa banyak uang cash. jangan kan uang, hp aja ketinggalan." Penjelasan Asha membuat Cahya dan Bunga geleng-geleng kepala. Sedang Shinta malah tertawa karena lebih fokus pada wajah lucu yang Asha tampilkan. Memang ya, manusia itu tidak ada yang sempurna. Asha contohnya, dia ini cantik, pintar, baik tapi pelupa akut.
"Terus kenapa langsung ATMnya yang lo kasih ke dia? Elo kan bisa ambil uangnya dulu, sebanyak yang dia butuhin." Cahya mengeluarkan pertanyaan. Sebenarnya ketiganya tidak mempermasalahkan uang yang ada di ATM itu. Hanya saja, mereka ingin Asha tidak terlalu baik pada orang asing. Cahya dan Bunga takut jika pada akhirnya kebaikan Asha hanya dimanfaatkan.
Asha mengerjap. "Eh iya, kok gue gak kepikiran, ya? Aduh, coba aja kalian waktu itu ada di sini, pasti kalian ingetin gue."
Bunga dan Cahya hanya bisa menghela napas. Shinta tak memberikan respon kesal sedikit pun gadis itu malah asik menatap Asha, matanya mengerjap lucu sebelum akhirnya bersuara, "Asha, Nta penasaran deh, kenapa Asha percaya kalau si Gio-Gio itu anak baik? Padahal tadi Asha bilang kalau dia galak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [ END ]
RomanceArasha Shibilla, seorang penulis novel horor terkenal kembali bertemu dengan Adinar Primasatya Azmilo sahabat sekaligus cinta pertamanya, pertemuan tanpa sengaja ini membuat takdir terus saja mempertemukan Asha dengan Prima. Gara-gara sering bertemu...