"Jika waktu bisa diputar, tentu saja, aku tak pernah ingin ada di posisi menyakitkan seperti ini."
***
Asha terus saja memandang punggung Prima dengan sinis. Dia masih merasa kesal, karena, setelah kejadian memalukan tadi. Dengan se enak jidatnya, Prima menyuruh Asha untuk keluar menemani dirinya membeli sesuatu.
Asha berjalan dengan jarak cukup jauh dari Prima, kalau bisa sekalian saja dia menghilang di tengah pasar malam ini. Toh, dia kemari karena paksaan dan tidak ada sedikitpun keikhlasan dihatinya.
Asha bisa melihat Prima berhenti melangkah. Dengan secepat kilat dia pura-pura menunduk, Prima tidak boleh tau bahwa Asha tengah menyumpah serapahi pemuda tampan itu. Tangan Asha di genggam, dia tau betul tangan siapa ini. Dengan cepat Asha mendongak. "Ngapain lo pegang tangan gue? Bukannya kemarin lo bi—"
"Stop! Gak usah lo lanjutin. Nih, ya, gue kasih tau. Dari tadi, lo jalan lemot banget ngelebihin siput, kalo lo ilang, gue juga yang repot. Lagian, lo itu gue mintain bantuan buat pilih hadiah. Bukan masuk rumah hantu!" Prima mengoceh panjang lebar sambil menarik tangan Asha agar gadis itu berjalan dengan cepat.
Asha tak merespon dia malah sibuk berpikir. Rumah hantu? Seumur- umur gue gak pernah masuk rumah hantu. Kalo gue masuk bareng Prima, gimana ya? Apa mungkin, setelah masuk rumah hantu, terus kerasukan, Prima bakalan jatuh cinta sama gue?
Asha langsung menepuk-nepuk pipinya pelan. Astagfirullah sadar, Sha. Kenapa pikiran gue jadi ngelantur gini, sih? Apa karena kebanyakan nulis horor ya?
Asha mengerjap. Dia baru sadar bahwa dirinya dan Prima sudah berhenti berjalan. Asha membaca tulisan sebuah bangunan di depannya. Rumah hantu.
"Hah?! Rumah hantu!" pekik Asha kaget.
"Ngapain kita berhenti disini? Bukannya lo bilang lo mau beli hadiah?" Asha menatap Prima yang tengah menyeringai.
"Kenapa? lo takut?" tatapan penuh ejekan dengan seringaian menyebalkan itu membuat Asha dengan cepat menggeleng.
"Gue? Takut? Hahahaha. Kuntilanak sama gue aja lebih serem gue tau."
Prima hampir saja ingin ngakak. Namun dia lebih suka menikmati keangkuhan Asha saat ini.
"Okey, kita buktiin aja, gak usah banyak bacot!"
Prima meninggalkan Asha untuk membeli tiket. Asha sendiri berulang kali mengatur napas. Jantungnya berdetak tidak karuan. Jujur saja, walau sering menulis cerita horor, Asha itu penakut. Dia tidak suka dengan hal-hal menyeramkan selain yang ada di dalam imajinasinya. Karena, hal dalam imajinasinya itu menghasilkan uang.
Prima kembali dengan membawa dua tiket. Asha sendiri sudah berusaha bersikap senormal mungkin. Prima tidak boleh sadar bahwa dirinya tengah ketakutan setengah mati.
"Mana tiket gue. Gue harap lo gak akan nangis kayak waktu itu."Asha menyodorkan tangan sembari tersenyum miring.
Prima memberikan tiket itu pada Asha. "Okey, Kita liat aja, gue atau lo yang nangis malam ini."
Asha memegang tiket itu se erat mungkin. Dia berjalan seperti prajurit yang akan memasuki medan perang. Langkah Asha terhenti. Ruangan gelap di depannya semakin membuat nyali Asha menciut. Asha menjerit di dalam hati. Oh, ya ampun! Harus banget ini gue lakuin. Kalo gue beneran masuk dan ketemu hantu beneran gimana?! Gue yang teriak atau mungkin malah hantunya yang teriak?
Prima tersenyum manis. Melihat Asha yang gemetaran tapi tetap berusaha sok kuat membuat perutnya tergelitik. Langkahnya kembali terayun, kali ini, dia berhenti di samping Asha. Prima menautkan kelima jari tangannya dengan jari tangan milik Asha. Asha menoleh lalu mengeryit.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [ END ]
RomanceArasha Shibilla, seorang penulis novel horor terkenal kembali bertemu dengan Adinar Primasatya Azmilo sahabat sekaligus cinta pertamanya, pertemuan tanpa sengaja ini membuat takdir terus saja mempertemukan Asha dengan Prima. Gara-gara sering bertemu...