Menata Masa Depan

621 109 168
                                    

Pukul setengah delapan malam. Asha berdiri di depan pintu kamarnya. Dia bingung apa yang harus dia lakukan saat kembali berduaan di dalam kamar dengan Prima. Asha berjalan mondar mandir di depan pintu. Kepalanya sibuk memikirkan hal apa yang harus dia ucapkan. Pasalnya, setelah acara tadi siang selesai. Prima sibuk dengan beberapa anggota keluarga, lelaki yang sudah menjadi suaminya ini sampai tak memiliki waktu untuk menunjukkan wajah tampannya.

Saat waktu shalat maghrib tadi, Prima sudah pergi ke musholla terdekat bersama dengan Arif. Asha sendiri mengerjakan shalat maghrib di rumah. Asha pikir setelah shalat maghrib dia bisa melihat Prima,ternyata dirinya kembali di sibukkan dengan beberapa pekerjaan bersama dengan Putri. Asha baru bisa naik menuju kamarnya setelah suara adzan Isya berkumandang bersamaan dengan Putri dan Arif yang berpamitan untuk menginap di rumah sang nenek.

"Bil."

Suara Prima terdengar. Sepertinya Prima bisa mendengar suara Asha yang sibuk mondar mandir di depan pintu. Karena sudah ketahuan, Asha memberanikan diri membuka pintu.

Ceklek

Asha dengan cepat menoleh ke arah lain, pemandangan Prima yang tengah shirtless serta hanya mengenakan celana panjang cukup membuatnya terkejut.

Prima sudah beralih menatap Asha, "Beneran kamu, toh. Ngapain berdiri disitu? Udah ambil wudhu?"

Asha hanya bisa menggeleng. Dia tetap diam di tempatnya berdiri.

"Bil, kok malah diem." Prima berjalan mendekat.

"Stop Mas! Mas jangan maju lagi." Asha menghentikan langkah kaki Prima. "Mas ngapain, sih? kenapa gak pake baju?" tanya Asha kemudian.

Prima tertawa pelan. Dia baru ingat bahwa tubuh atasnya masih belum tertutupi oleh sehelai kain. "Mas lagi mau ganti baju, tapi belum nemu bajunya."

"Oh, yaudah, Mas minggir dulu. Asha gak mau liat." Asha menyuruh Prima menjauh. Prima langsung menuruti permintaan istrinya.

"Udah. Aku tungguin kamu. kita shalat isya berjama'ah." Asha mengangguk, dia dengan segera masuk kedalam kamar mandi.

***

Shalat isya kali ini terasa sangat berbeda. Biasanya tangan yang Asha cium adalah tangan milik Arif. Tapi kali ini, tangan Prima yang dia cium. Prima benar-benar sudah menjadi imamnya.

Asha duduk diam di depan meja rias. Dia bingung harus melakukan apa, karena setelah selesai shalat dia dan Prima malah saling diam lagi. Prima sendiri sedang berada di kamar mandi, entah sedang melakukan apa suaminya itu.

Asha menatap pantulan dirinya, hijab berwarna cream masih menutupi rambut indahnya. Sebelum berhijab. Prima pernah melihat rambutnya. Tetapi, entah mengapa, malam ini rasanya dia sangat malu untuk memperlihatkan rambut indahnya.

Asha menggigit bibir bawahnya pelan, ya dia harus melakukan ini. Mau bagaimanapun, Prima adalah suaminya, itu berarti rambut indahnya adalah milik Prima juga. Selagi Asha sibuk membuka hijabnya, Prima sendiri sudah keluar dari kamar mandi, lelaki yang kini sudah memakai piyama tidur langsung naik ke atas ranjang.

Prima terus saja memperhatikan Asha, senyumannya terus saja mengembang. Gerak-gerik Asha yang terlihat sangat gugup dan takut, membuat rasa gugup dan takut dalam dirinya menghilang. Prima harus melakukan sesuatu, malam ini mereka harus menjadi Prima dan Shibil seperti delapan tahun yang lalu.

Prima turun dari ranjang, langkah kakinya membawanya mendekat pada Asha. Prima berdiri tepat di belakang Asha, matanya fokus menatap cermin. Pantulan dirinya terlihat jelas, Ashanya terlihat sangat cantik. "Bil," panggilan Prima refleks membuat Asha menegakkan tubuhnya. Asha terlihat belum terbiasa dengan kehadiran Prima di dalam kamarnya.

My Destiny [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang