Asha tengah berdiri dia menatap ketiga sahabatnya dengan tatapan sedih. "Uwaahh! Rasanya gue gak mau ninggalin kalian." Asha menggembungkan pipinya, jika Prima melihat ini tentu Prima akan semakin gemas pada Asha.
"Udah ah jangan sedih-sedihan, Kalo lo gak balik kampung, lo itu selalu Kerja. Kerja. Kerja. Kerja. Kayak gak ada waktu buat hidup seneng tau." Cahya terus saja menceramahi Asha. yang di ceramahi malah asik cekikikan dengan Bunga dan Shinta.
"Kaaan ... lo bertiga jahat!" Cahya merajuk, gadis mungil dengan rambut yang di cepol asal ini terlihat bersedekap dada lalu membalikan badan.
Asha, Bunga, dan Shinta saling lirik, mereka bertiga serempak tersenyum kemudian memeluk Cahya secara bersamaan. "Uluu, anak gadis gue, ngambek nih, ceritanya." Asha berusaha membujuk Cahya, dia memang selalu bersikap menjadi ibu, katanya sih sekalian latihan.
Cahya berusaha untuk tidak tersenyum, namun suara Asha, Bunga dan Shinta yang terus saja membujuknya sambil menoel rambutnya hingga rambut Cahya semakin berantakan membuat gadis itu tidak tahan, Cahya tersenyum lebar lalu tertawa dengan keras. "Udah ah, cukup, gue gak kuat," kata Cahya setelah berusaha berhenti tertawa.
Ketiganya berhenti menjahili Cahya, ditengah hening yang melanda, Asha mengajak ketiga sahabatnya untuk singgah sebentar di sebuah tempat makan yang ada di dalam bandara. Asha melakukan ini untuk meluruskan suatu hal, selain itu pesawat yang akan Asha naiki tiba-tiba saja jadwal keberangkatannya di undur, kebetulan ini tidak akan Asha sia-sia kan.
Asha, Bunga, Cahya dan Shinta memilih tempat duduk di pojok sebelah kanan, jauh dari jangkauan orang lain. Mereka ber empat baru saja memesan, sembari menunggu pesanan, Asha menarik napas kemudian berkata,"Aya, Aya gak mau bilang sesuatu ke kita, nih? Gak mau bagi berita bahagia?"
Shinta menatap Cahya. "Emang Aya punya berita bahagia? Kok gak mau bagi? Nta kan mau tau juga."
Bunga memilih diam, ke kepoannya sudah di wakili oleh kedua sahabatnya. Sekarang, waktunya Cahya untuk menjelaskan.
"Aya bingung mau mulai dari mana. Tapi, seperti yang Asha bilang, Aya emang lagi bahagia—" Cahya menggantungkan ucapannya, dia sedikit menunduk kemudian menatap satu persatu wajah sang sahabat dengan ekspresi malu. "—Aya, abis di lamar, gak nyangka banget tau," ucap Cahya kemudian, walau terdengar seperti tengah berbisik namun ucapan Cahya mampu membuat hati Asha berbunyi kretek!
Asha berusaha menampilkan senyuman terbaiknya, dia menatap Cahya dengan mata yang berkaca-kaca. "Wah, Asha gak nyangka, Aya bisa di lamar secepat ini, semoga langgeng ya sama Dinar, semoga lancar sampe hari pernikahan."
Cahya mengerjap, dia terlihat kebingungan. "Hah? Kok Dinar?"
"Loh, kan emang Dinar yang ngelamar Aya. Asha liat sendiri kok. waktu itu, Asha lagi di kampus, terus gak sengaja liat proses lamaran Dinar ke Aya." Asha menjelaskan hal yang waktu itu sempat ia lihat.
Cahya tersenyum geli. "Ya ampun, Asha salah paham tau. Dinar mana mungkin ngelamar Aya."
"Loh, kenapa gak mungkin? Kalau kalian saling suka, semuanya mungkin, kok." Asha terus saja berpendapat, seolah dirinya telah rela jika harus melihat Prima dan Cahya di pelaminan. Padahal, di dalam hati, Asha sangat berharap bahwa Cahya dan Prima tidak memiliki hubungan yang serius.
"Ya jelas gak mungkin lah, orang Dinar kakak sepupunya, Aya," jawaban Bunga berhasil membuat batin Asha bersorak.
"Kakak sepupu? Kok bisa? Kok Aya gak cerita?" Asha menatap Cahya, menunggu penjelasan lebih lanjut dari gadis yang sudah mengurai rambut indahnya.
"Aya bukan gak cerita, tapi Asha yang gak ikut makan malem waktu itu, jadi Asha ketingalan info tentang mereka," sahut Shinta seraya tersenyum bangga, sahabat polos Asha satu ini terlihat sangat bangga karena bisa memberikan jawaban atas rasa penasaran Asha.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [ END ]
RomantizmArasha Shibilla, seorang penulis novel horor terkenal kembali bertemu dengan Adinar Primasatya Azmilo sahabat sekaligus cinta pertamanya, pertemuan tanpa sengaja ini membuat takdir terus saja mempertemukan Asha dengan Prima. Gara-gara sering bertemu...