Revisian Skripsi

677 145 153
                                    

"Kadang ada hal yang belum terselesaikan. Tapi kamu terlanjur abai, hingga waktu pun seakan melenyapkan fakta yang ada. Kemudian hal itu bermetamorfosa menjadi sebuah rahasia."

***

Pagi ini Asha memasuki kelas dengan malas. Terlihat jelas bahwa semalaman Asha tidak tidur karena terus memikirkan apa yang Prima katakan padanya. Asha menghentikan langkah tepat sebelum memasuki kelasnya. Dia memilih untuk mengintip lebih dulu guna memastikan bahwa Prima tidak ada di dalam.

Asha tersenyum. Dia merasa sangat lega karena Prima belum datang. Dengan langkah sedikit riang, Asha memasuki kelas yang sudah di huni oleh Satria, Shinta, Bunga dan Cahya.

"Selamat pagi ciwi ciwi cans aku," sapa Asha yang di respon raut wajah kesal oleh BCS.

"Kenapa sih? Pagi-pagi, muka lo pada kusut gini." Asha kembali bertanya setelah mendaratkan bokong teposnya pada kursi.

Shinta yang duduk dibatasi oleh kursi Prima menjawab. "Harusnya kita yang tanya. Lo kenapa? Kenapa revisian skripsi lo masih belum ada perubahan."

Asha tercenung. Jujur saja karena terlalu fokus pada naskah novelnya, Asha jadi menelantarkan revisian skripsinya. Padahal kalau memang niat, revisian itu bisa Asha selesaikan dalam waktu satu jam.

Satria tiba-tiba saja mendekat. Dia tersenyum manis membuat Asha sedikit oleng. Ini makhluk ganteng kenapa tiba-tiba senyum di depan meja gue sih. Aduh, plis, deh. Gue gak mau ambyar lagi.

"Sha, lo ada kesusahan waktu revisi gak? Bukannya gue mau sok ikut campur. Cuma, pak Zaen ada nanyain lo ke gue. Ya ... gue sebagai temen satu bimbingan sama lo ngerasa wajib buat bantu." Satria berbicara panjang lebar. 

Asha malah asik berselancar dengan pikirannya sendiri. Ini nyata? Babang Satria ngomong sepanjang tadi sama gue. Ya ampun! gue lupa nyatet lagi, tadi itu ada berapa kata, ya?

"Asha! Jangan bilang lo malah ngehalu!" Shinta yang sedari tadi melihat Asha hanya diam memilih mendekati Asha. Dia seolah tau bahwa Asha sedang halu.

Asha tersadar. "Enggak kok, gue cuma lagi mikirin revisian yang menurut gue agak sulit." Asha mengelak dengan cepat. Dia tidak mungkin jujur mengenai pikirannya tentang Satria.

Oh ya, untung saja Asha adalah anak yang pintar, walau sedang beralibi, Asha tetap keliatan pintar karena dia langsung mengeluarkan laptop dan mencari revisian yang akan dia tanyakan pada Satria. Wah, hebat kan seorang Arasha Shibilla ini.

Asha menyodorkan laptopnya agar Satria bisa melihat dengan jelas. "Sat, yang bagian ini lo ngerti gak?"

Satria mencoba mencermati hal yang Asha tanyakan.

Asha diam, dia bukannya fokus mendengarkan penjelasan Satria melainkan fokus pada wajah Satria yang terlihat ganteng maksimal pagi ini. Saking fokusnya pada Satria, Asha sampai tak menyadari tatapan Prima yang langsung berubah tajam saat dirinya dan Arthur Cs memasuki kelas.

"Minggir!" Prima sedikit membentak. Bentakan itu berhasil menyadarkan Asha. 

Asha langsung di selimuti amarah. Si primata ngapain sih! Ganggu aja!

"Ngapain sih lo teriak-teriak! Kuping gue gak budeg tau!" Asha langsung ngegas.

"Gue gak ngomong sama lo. Gue ngomong sama dia." Prima melihat kearah Satria yang memang sudah duduk dengan santai di kursi yang di tempati oleh Prima.

Satria terkekeh pelan. "Sans aja bro. Gue cuma mau ngajarin Asha aja kok."

"Gue gak peduli. Yang gue tau bentar lagi pak Angga bakalan masuk. mending lo cabut deh! " Prima masih tetap dengan pendiriannya, dia tidak suka hal yang menjadi miliknya di usik oleh orang lain.

Satria memilih mengalah. Dia berdiri untuk pergi menjauh. Saat berpapasan dengan Prima. Prima berbisik pelan. "Gue tau, lo gak sebaik penampilan lo. Gue juga tau apa yang lo lakuin sama si Mutiara di ruangan rooftop. Jadi, jangan sok polos di depan gue, karena itu menjijikan!"

Bisikan Prima berhasil menimbulkan gurat amarah di wajah Satria. Satria memaki dalam hati. Bangsat! Ternyata anak baru ini gak bisa di remehin.

Setelah kepergian Satria, Prima langsung duduk di kursinya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Padahal Prima tau bahwa Asha masih terus menatap dirinya dengan wajah di penuhi kekesalan.

"Gak usah ngeliatin gue kayak gitu. Revisian lo tetep bakal kelar tanpa perlu sentuhan si tukang goyang," ucap Prima santai. Lelaki itu mengambil alih laptop milik Asha tanpa mempedulikan gerutuan yang kembali mengalun merdu.

Prima dengan lihai membenarkan revisian skripsi milik Asha. Dia terus saja tersenyum walau setipis tempe goreng yang di jual abang-abang di pinggir kampus.

Asha saja sampai tak bisa melihat senyuman tipis Prima. Padahal jika di pikir-pikir seorang penulis seterkenal Asha harusnya bisa mengerti situasi. Tapi kembali lagi, Asha, si senggol dikit ambyar malah terpaku dengan pekerjaan Prima.

"Nih udah kelar. Tinggal lo kasih ke dospem lo. Gak usah lagi minta bantuan si tukang goyang. Paham kan lo?" Prima mengembalikan laptop milik Asha tanpa mau melirik Asha sedikit pun.

Asha yang merasa tak di anggap. Lagi-lagi mengeluarkan umpatan, kali ini umpatannya akan dia buat selirih mungkin, "Idih, mulai deh si Primata sok kepinteran."

"Gak usah di puji. Gue emang pinter dari lahir."

Asha melihat Prima yang tetap fokus melihat kedepan.

Asha menggeleng pelan. Sepelan itu aja dia masih denger. Emang bener-bener primata banget ni anak.

***

Kalo kalian jadi Asha lebih pilih mana Satria atau Prima?

My Destiny [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang