Hal yang Asha tidak tau

500 99 176
                                    

"Sepertinya tidak ada yang salah dalam hidup ini karena semua benar dalam sudut pandangnya masing-masing"

***

Prima membanting tubuhnya yang lelah ke atas ranjang King size miliknya. Kepalanya terasa berdenyut, ucapan Satria terus saja terputar. Sekarang, Prima di hinggapi rasa takut. Bagaimana jika pada akhirnya Asha memilih Arya? Bagaimana jika apa yang Asha tulis itu jadi kenyataan? Bagaimana jika dirinya berakhir menjadi pria menyedihkan?

"Apa yang gue lakuin ini berlebihan? Tapi, gue ngelakuin ini semua buat Asha, gue cinta sama dia, dari dulu. Tapi, kenapa malah jadi gini!" Prima bergumam pelan. Dia mengacak rambutnya frustasi, rasa takut itu benar-benar menguasai jiwanya.

Prima menoleh. Dia tersenyum miris mendapati dua barang yang sudah berumur delapan tahun. Tangan Prima bergerak guna mengambil salah satu barang yang ada di atas nakas. Sebuah novel dengan sampul berwarna pink dan dua jepitan rambut berbentuk love. Senyuman tipis terbentuk bersamaan dengan aliran bening yang menetes. Rasa haru karena hari itu tiba-tiba saja menyelinap kedalam ingatannya malam ini.

Delapan tahun yang lalu.

Prima dan Asha berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Selama perjalanan, Prima sering kali mengusili pengguna jalan yang lain. Hingga lelaki berseragam putih biru ini dimarahi. Bukannya merasa bersalah, sahabat baik Asha ini malah tertawa cengengesan, Asha sendiri ikut tertawa. Sudah di bilangkan segala hal tentang Prima itu mengandung candu.

Langkah Prima terhenti. Dia menoleh lalu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa Bil?"

Asha tidak langsung menjawab pertanyaan Prima. Dia memilih menyeret sang sahabat ke teras sebuah toko buku yang memamerkan sebuah novel di balik kaca besar yang transparan. "Liat deh, Novel itu menurut Prima bagus gak?" Asha menunjuk novel yang dia maksud.

Prima langsung mengangguk. Hal yang menjadi kesukaan Asha akan menjadi kesukaan Prima  juga. "Bagus, Shibil mau beli?"

Asha tersenyum lalu mengangguk dengan sangat antusias. "Shibil mau beli, Shibil udah kumpulin uangnya, loh. Minggu depan kayaknya novel itu udah ada di pelukan Shibil, deh."

Melihat sang sahabat bahagia, senyuman pun seakan tertoreh dengan otomatis di wajah Prima. "Shibil mau jadi penulis, ya?"

"Iya, nanti, Shibil bakalan nulis kisah kita. Prima setuju kan?"

"Setuju banget dong. Jangan lupa tulis yang bagus-bagus tentang Prima. biar cewek-cewek pada nempel." Prima tersenyum senang. Dia suka sekali melihat wajah kesal Asha.

Asha yang sudah memajukan mulutnya bergerak cepat untuk memukul sang sahabat. "Ish, Shibil kan udah bilang jangan ganjen. Batu banget, sih!"

Prima tertawa. Dia terus saja berusaha menghindar dari pukulan Asha. Tak berapa lama pertengkaran kecil itu usai, keduanya kembali melangkah sambil bergandengan tangan.

Keesokan harinya.

Prima pulang seorang diri. Hari ini Asha sudah pulang lebih dulu di jemput oleh ayahnya. Langkah kaki Prima terhenti, dia menatap papan diskon dan pemberitahuan yang terletak pada novel yang Asha inginkan.

Tanpa pikir panjang, Prima langsung memasuki toko, dia harus tau info seputar novel itu.

"Kak saya mau tanya, novel yang di pajang itu bukannya diskon sampai minggu depan, ya?" tanya Prima sembari menunjuk ke arah novel yang Asha inginkan.

"Oh, novel best seller itu dimajuin dek diskonnya. Karena banyak sekali yang beli," jawab pegawai toko dengan ramah.

"Sampai kapan ya kak?"

My Destiny [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang