"Yon, Sabtu besok temenin gue ke kondangan Denis ya?" Pinta gue pada Dion.Bukan hal baru buat Dion buat gue ajak ke kondangan teman, saudara atau mantan gue sekalipun. Apa gunanya punya adik laki-laki 'ganteng' kalau gak dimanfaatkan dengan baik? Toh gue juga insecure kalau harus kondangan sendirian sementara temen gue yang lain udah pada punya gandengan. Ketauan banget gak sih jonesnya gue?
Arkadion Mallory Wibisono, satu-satunya peninggalan kedua orang tua gue. Satu-satunya harta yang paling berharga semenjak orang tua gue meninggal dua tahun lalu. Adik kesayangan yang mau aja kalo gue mintain tolong ini dan itu -dengan iming-iming imbalan tentunya. Beban hidup gue sedikit berkurang karena sebentar lagi Dion kelar dengan pendidikan kedokterannya. Sekarang Dion lagi magang di rumah sakit swasta milik paman gue.
Terpaut usia dua tahun, gak membuat Dion manggil gue dengan awalan 'kak', 'mbak' atau sebutan yang seharusnya dia ucapkan sebagai penanda kalo gue lebih tua daripada dia. Songong banget emang anak muda zaman now.
Belum juga mendapat jawaban, gue melirik ke arah Dion yang masih asyik dengan game onlinenya. Sebuah boneka bantal mendarat tepat di wajahnya sontak membuat ponselnya terjatuh.
"Lo kapan sih gak gue temenin kondangan? Pertanyaan lo basi, Ra." Jawab Dion menggerutu sambil mengambil ponselnya di bawah meja. Ya Tuhan, jangan sampe tuh hp rusak terus gue yang disuruh ganti. Salah siapa bikin gue kesel?
"Btw, Ra." Dion mulai pasang mode serius kemudian menyimpan ponselnya yang gue gak tau layarnya retak atau engga karena tadi lumayan juga jatuhnya. Tubuhnya kian mendekat, mengikis jarak antara gue dan dia. Perasaan gue mulai ga enak.
"Apaan sih? Geser ah." Bentak gue, kemudian pindah ke sisi sofa yang lain. Seriusan deh, walaupun Dion tuh songong bin ngeselin tapi kalau udah pasang mode serius gue jadi takut. Soalnya Dion udah gue anggap kaya bokap gue sendiri -maksud gue, peran dia sekarang tuh otomatis pengganti bokap buat jagain gue.
"Serius, Ra. Lo kapan nikah? Gue ga mungkin ngelangkahin lo." Dion benar-benar serius, tanpa tawa khas meledek atau nada bercanda saat menanyakan hal yang dia tahu itu sensitif buat gue.
Ini bukan kali pertama dia menanyakan hal itu. Walaupun yang sebelumnya disertai nada meledek karena gue masih belum keliatan hilalnya padahal umur tiga tahun lagi udah masuk kepala tiga.
"Mulai deh. Males ah gue. Bye Dion, kali ini kita kemusuhan." gue mencibir lalu beralih pada segelas susu coklat yang kini sudah mulai dingin. Sudah menjadi kebiasaan setiap mau tidur, gue harus minum segelas minuman berkalsium setidaknya biar tinggi gue bertambah sedikit walaupun itu hal yang tidak mungkin terjadi di usia gue saat ini.
"Makanya, Ra. Main tuh sama nenek-nenek depan komplek biar didoain cepet nikah. Main sama seumuran lo cuma bisa haha hihi doang."
Dion menoyor kepala gue sambil berlalu ke kamarnya. Gue cuma bisa sabar sambil mengelus dada gue -yang lumayan berisi. Persetan dengan Dion yang ngambek, besok gue sogok bakso depan komplek juga udah kelar ngambeknya.
Tiba-tiba gue kepikiran sesuatu, kenapa Dion ngebet banget pengen nikah? Dia laki-laki yang baru berusia 25 tahun. Gak bakal ada gonjang-ganjing dari tetangga sebelah kalau sekarang dia belum nikah.
Yang harusnya ngebet nikah tuh gue, yang udah kenyang banget sampe rasanya mau muntah tiap kali ditanya kapan nikah mengingat usia gue yang makin matang. Andai Dion bisa diajak tukeran. Mending gue aja yang jadi bungsu.
Welcome di negara +62. Yang warganya hobi nyinyir tiap ada perempuan di atas dua puluh lima tahun yang belum nikah tapi kalo nikah muda disangka hamil duluan. Mau jadi warga negara Zimbabwe aja gue rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [ SELESAI ]
ChickLit"Aku dan kamu masih sibuk dengan pencapaian kita masing-masing, Bim. Kalau perasaan kita masih sama, kalau kita masih mau menunggu dan kalau kamu percaya jodoh tak akan kemana, lima atau sepuluh tahun kita bahas lagi perasaan ini." -Lyora Allona Wi...