Taruhan dan Harapan

427 65 4
                                    

Lebih dari 12 jam sudah Nayla bertugas di lapangan tempat digelar acara penutupan ospek. Rasa lelah dan letih menguasai dirinya membuat ingin segera cepat-cepat selesai. Ia menyisir rambutnya dengan tangan untuk kesekian kalinya.

"Huft," Hela napasnya terdengar sambil melirik layar ponselnya yang menampakkan chatnya dengan pacarnya.

"Gimana Nay? Udah dibales Ian?" Tanya Jeniffer yang muncul dari belakang.

"Boro-boro, centang satu."

Jeniffer menepuk pelan di pundak sahabatnya. "Maklumin aja, orang mau sidang pasti sibuk. Udah pulang bareng gue aja."

Nayla tau Ian sedang disibukkan dengan skripsinya. Jadi waktunya kini yang ia habiskan tidak sama seperti pertama kali mereka dekat.

Ia jadi teringat awal mereka bertemu ketika masa ospek. Kala itu Nayla masih seorang maba dan Ian katingnya. Dari sanalah kisah asmara mereka dimulai. Kabar mereka tersiar langsung menghebohkan bukan hanya satu fakultas melainkan satu kampus. Ian yang dikenal salah satu mahasiswa populer karena ketampanannya, sedangkan Nayla sejak kemunculannya banyak menjadi inceran anak teknik.

Nayla akhirnya mengangguk menyetujui usul Jeniffer. Jika ia menunggu balasan Ian bisa-bisa ia menginap di kampus. "Yaudah yuk balik. Capek gue."

***

"Woi, jerry sini gak lo?!"

"Mentang-mentang paling tua seenaknya jidat ganti-ganti lagu. Nguji kemampuan kita huh?!"

Jeje buru-buru keluar ruang transit seusai mengganti bajunya yang basah karena keringat, berharap masih bisa bertemu dan menyapa kembali si gadis. Tanpa peduli dengan omelan anggota bandnya dibelakang.

Sesampainya di area lapangan, orang yang ia cari ternyata sudah tidak ada di tempat. Hanya tinggal panitia dan orang dari kru sound konser yang sibuk membereskan sisa pernak-pernik acara. Lagi-lagi ia gagal dalam kesempatannya mengajak ngobrol Nayla.

"Ughh!!" Gerutunya kesal.

"Woi! Lo belum jawab pertanyaan kita, Jupri!" Sentakan Dannish yang berhasil mengejar Jeje membuatnya menoleh.

"Udah gue bilang gak usah bawa nama bokap."

"Bodo amat. Kenapa lo ganti setlist lagu terakhir? Mau pindah aliran musik lo?"

"Elah masalah gitu doang diributin. Emang salah nyanyi lagu melayu? Jangan diskriminasi genre lu."

"Gue gak permasalahin genrenya ya. Gue permasalahin lo ganti lagu terakhir dadakan. Dikira kita Beethoven apa?"

Jeje memilih tidak menanggapi omelan Dannish karena ia juga sedang kesal pada dirinya sendiri. Ia hanya bisa menghela napas pasrah.

"Udah-udah," Chandra akhirnya menengahi. "Lu kenapa dah bang? Kayak kebelet mau ketemu seseorang. Turun tadi juga cepet-cepet. Mau ketemu siapa sih?"

"Mau ketemu jodoh gua."

"Hah...?" Dannish dan Chandra kompak bersuara bingung.

"Ha Hu Ha Hu, gua bukan klomang."

"Ngehalu nih orang."

"Yang serius, Jupri." Kesal Chandra lama-lama.

"Ck, serius gua. Kalian inget gak sama cewek yang tempo hari dateng ke kafe kita pagi-pagi? Dia disini coy! Anak sini!"

Dannish dan Chandra langsung mengingat-ingat pelanggan yang pernah datang ke kafe mereka.

"Yang lo tanyain ke gue kenal enggak itu bukan?"

Kos-kosan MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang