Kananta duduk di kursi yang terletak di depan ruangan Ibunya. Ia sedang menunggu gilirannya untuk bertemu Ibunya.
"Nanta," panggil seorang perawat yang keluar dari ruangan. "Kamu udah boleh masuk. Itu tadi pasien terakhir," ujar sang perawat.
Kananta segera beranjak dari duduknya. "Iya, makasih," ucapnya sambil sedikit membungkukkan badannya.
"Jangan takut. Hari ini mood Ibu lagi bagus kok. Semangat!" Sang perawat menepuk pundak Kananta serta tersenyum sebagai bentuk menyemangatinya. Kondisi hubungan keluarga Kananta sendiri memang sudah menjadi rahasia umum di sini.
Kananta menarik nafas panjang. "Bisa, bisa, bisa!" Ucapnya berkali-kali untuk menyemangati dirinya sendiri yang selalu takut setiap akan bertemu Ibu atau Bapaknya.
Kananta mengetuk pintu pelan lalu membukanya perlahan. "Ibu," panggilnya saat melihat Ibunya yang sedang duduk sambil memainkan ponsel.
"Oh, Nanta. Duduk sini" Hana, Ibu Kananta menyuruhnya untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. "Ada apa?" Tanya-nya setelah Kananta duduk.
"Ada yang mau Nanta tanyain ke Ibu"
"Ya, tanya aja"
"Hmm, Ibu sama Bapak sayang Nanta nggak?"
Hana tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan Kananta. "Kalau nggak sayang, Ibu sama Bapak nggak bakal kasih kamu fasilitas ini dan itu"
Kananta tersenyum kecut. "Jadi definisi sayang-nya Ibu sama Bapak cuma sebatas itu ya?"
Hana terdiam, melihat perubahan ekspresi Kananta dan suaranya yang terdengar kecewa atas jawabannya. Hana menghela nafas. "Kamu kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
Kananta menundukkan kepalanya. "Kalau memang Ibu sama Bapak sayang Nanta, kenapa yang kalian perhatiin cuma Abang sama Lala?"
"Kamu sendiri sudah ngelakuin apa supaya dapat perhatian Ibu sama Bapak?"
Pertanyaan balik dari Hana membuat Kananta terdiam. Pertanyaan itu seolah menyatakan keluarga ini memegang prinsip timbal balik.
"Abang kamu rajin dan pintar. Dia selalu masuk peringkat atas dan ikut berbagai lomba. Lala dengan kondisinya yang terbatas, tetap bisa menunjukkan bakatnya dibidang seni. Lihat itu hasil karya-nya banyak dipuji dan bisa terjual. Kamu?"
Kananta merasa sedih mendengarkan Hana membanding-bandingkan dirinya dengan Jovi dan Lala. Bila dibandingkan, Kananta memang tertinggal jauh dari kedua saudaranya itu. Nilainya pas-pasan bahkan terkadang tidak sampai rata-rata. Bakat di bidang tertentu pun ia tak punya.
"Dari dulu sampai sekarang, kamu cuma bisa main-main aja. Apa yang Ibu sama Bapak bisa banggakan dari kamu?" Tanya Hana membuat Kananta merasa tak berguna di mata kedua orangtuanya.
"J-jadi... Nanta harus bisa membanggakan Ibu sama Bapak, sama kayak yang Bang Jovi dan Lala lakuin? Setelah itu, baru Nanta bisa dapat perhatian dari Ibu sama Bapak?"
Hana mengangguk tegas. "Iya. Syaratnya cuma itu. Berhenti main-main nggak jelas. Berhenti main basket. Jangan jadi atlet, masa depannya nggak jelas.
Mending kamu belajar. Orang pintar itu masa depannya jelas. Selalu dibutuhkan. Lihat itu semua anggota keluarga kita sukses ya karena pintar"
Ponsel Hana berdering. Ada panggilan masuk dari Gandhi, suaminya. Mereka berdua berbicara sebentar. Sesekali Hana melirik Kananta. Kananta yang dilihat seperti itu tentu merasa ia sedang dibicarakan oleh kedua orangtuanya.
"Bapak minta kamu ke rumahnya sekarang," kata Hana setelah selesai telepon dengan Gandhi.
"K-kenapa?" Tanya Kananta dengan nada seperti ketakutan. Ia memang selalu takut bertemu dengan Bapaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
You Better With Me
Romance[Budayakan membaca deskripsi & tags] -GxG Story- (Setelah JuS) Setiap dari kita memiliki bahasa cinta masing-masing yang berbeda. Dari bahasa cinta itulah kita belajar bagaimana dicintai dan mencintai termasuk berusaha membuktikan siapa yang lebih l...