Selamat membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak
VOTE KOMEN SELALU DINANTIKAN PENULIS.
13. Kepulangan
Sudah seminggu Ova berada di rumah sakit. Hari ini adalah kepulangannya ke apartemen. Ova sangat merindukan kamar apartemennya itu. Apalagi ia rindu dengan para perabitan yang ada di dalam apartemenya.
Tatapi walau sudah diperbolehkan pulang. Kedua kaki Ova masih diperban dan tidak diperbolehkan untuk jalan. Ia harus menunggu lukanya benar-babar kering. Apalagi kamarin setelah diperiksa ulang dengan sinar X kaki Ova ternyata tulang kaki Iva sedikit mengalami keretakan.
"Hari ini Kak Draco nggak sekolah?" tanya Ova pada Draco.
Memang sedari pagi Draco sudah datang ke sini membantu Ova berkemas untuk kepulangannya. Tapikan hari kepulangan Ova tidak jatuh pada hari minggu, lalu gimana caranya kakak kelasnya itu hadir. Kecuali jika ia izin atau bolos.
"Gue udah pinter, satu hari nggak masuk gue nggak bakal goblog," balas Draco sombong. Rasanya Ova ingin meremas bibir kakak kelasnya itu.
"Ih, PD banget," cibir Ova.
"Ayo pulang!" ajak Draco setelah selesai berkemas. Karena memang tidak banyak yang perlu dikemasi karena Sia san Zella kemarin sudah membantu berkemas walau sebagian.
Ova pun langsung menurunkan dirinya ke lantai. Namun sebelum kakinya itu berhasil menyentuh lantai. Tangan Draco sudah menahan pinggangnya. Lalu mengangkatnya lagi ke bangkar pasien.
"Jangan tolol sehari bisa nggak?" kesal Draco. Sudah dibilangkan kalau kaki Ova itu tidak diperbolehkan jalan. Artinya tidak boleh menyentuh tanah, lantai, dan sebagainya.
"Kenapa sih kak?" balas Ova tak kalah kesal.
"Kaki lo nggak boleh jalan dulu Ova!!" kesal Draco.
"Tapikan cuma turun doang bentar buat pindah ke kursi roda itu," bela Ova untuk dirinya. Draco menghela nafas lelah.
"Jangan ngebantah terus bisa?" tanya Draco kali ini suaranya menjadi lebih datar. Hal itu berhasil menbuat nyali Ova kembali ciut.
Draco meletakan tas bawaan Ova di sofa ruangan. Kemudian ia mengambil kursi roda yang berada dipojok ruangan. Ia mendekatkannya pada Ova. Saat Ova ingin turun lagi, Draco langsung menggendongnya ala bridal style. Lalu ia mendudukan Ova di kursi roda tersebut.
"Bisa nggak sih kak kalau mau apa-apa bilang dulu? Ova kaget tau, jantung Ova dag, dig, dug," gerutu Ova. Draco hanya terkekeh ringan. Tidak apa-apa Ova mengomel terus-terusan asalkan tidak menangis saja.
"Jantung lo mau koit tandanya," balas Draco santai.
"Mulutnya!" peringat Ova. Enak saja berbicara seperti itu. Jantung Ova masih normal dan sehat walafiat.
Draco hanya bisa terkekeh melihat wajah kesal itu lagi. Ia kemudian mengalungkan tas pada bahunya dan mendoring kursi roda milik Ova. Ova nampak sekali sangat senang dengan kepulangannya. Sayangnya tubuhnya belum benar-benar sehat.
Disepanjang jalan Ova hanya fokus melihat-lihat area rumah sakit. Sampai matanya menangkap sebuah wajah yang amat ia benci ada beberapa meter di depannya. Entah mimpi buruk apa yang membuat Ova bertemu dengan sosok berengsek itu lagi dihidupnya.
"Kita putar balik kak, jangan kewat sini," suruh Ova. Draco yang tidak tau apa-apa tak mengidahkannya.
"BALIK KAK! JANGAN LEWAT SINI!" marah Ova. Draco langsung nenatap Ova kaget. Kenapa Ova bisa semarah itu hanya prihal jalan. Apakah ada sesuatu yang memicunya.
"Apaan sih? Ini udah dekat sama parkiran," sela Draco.
"Ova jalan sendiri aja kalau kakak nggak mau putar balik dan cari jalan lain." Dengan nekat Ova menampakan kakinya pada ubin lantai.
Draco kaget, wajahnya berubah khawatir saat Ova langsung jatuh karena kakinya terasa sakit. Sementara pria parubaya yang menjadu alasan ketidak sukaan Ova langsung berlari panik.
"Kamu nggak papa nak?" tanya laki-laki parubaya itu.
"KENAPA ANDA ADA DI SINI, PERGI SAYA NGGAK BUTUH ANDA," marah Ova. Wajah laki-laki parubaya yang memiliki nama Tirtan Adhitama Kencana. Ayah kandung Ova.
"Ova nggak boleh gitu," peringat Draco.
"PERGI ANDA DARI HIDUP SAYA BERENGSEK!" suruh Ova. Draco yang tak tahan melihat Ova marah-marah sampai urat lehernya tercetak langsung mengangkat Ova ke kursi roda lagi
"Maaf pak, teman saya nggak maksud seperti itu," ucap Draco merasa tidak enak.
"Ayo kak pergi!" suruh Ova. Tanpa sekali pun mau melihat wajah sangar ayah di depannya. Wajah yang paling ia benci seumur hidupnya.
"Dan anda jangan pernah hadir dan ikut campur di hidup saya," ucap Ova mampu membuat Tirtan merasa tertusuk ribuan duri tak kasat mata.
Tubuh Tirtan tak kunjung bangkit, ia terduduk lemas di ubin rumah sakit. Menatap putrinya yang semakin jauh. Ia memang tidka berguna dan pantas mendapatkan ini semua.
"Maafin aku Arisha, aku memang laki-laki berengsek dihidup kalian."
🐳🐳🐳
Draco menghentikan dorongan kursi rodanya di halaman taman rumah sakit. Ia masih ingin mempertanyakan sifat aneh dan tidak baik milik Ova tadi. Tidak biasanya Ova mau bersifat kasar pada orang.
Gadis polos itu selalu menanpakan wajah polosnya. Draco kira Ova tak mempunyai sisi kelam. Gadis itu sama sekali tidak pantas menjadi oemeran antagonis.
"Maksud lo apa? Kenapa lo marah-marahin om tadi?" tanya Draco kesal. Ia kini berhadapan langsung dengan Ova yang malah menangis dihadapannya. Ada apa dengan gadis itu, pikirnya.
"Ova benci dia!!" ucap Ova gamblang.
"Ova nggak mau ketemu dia lagi seumur hidup Ova. Dia berengsek!!" lanjut Ova. Pandangan gadis itu kosong sampai akhirnya mata indah itu terbakut kristal yang kemudian jatuh pada pipinya.
"Dia berengsek kak! BRENGSEK!" teriak Ova frustasi. Tangsi Ova kini semakin deras. Draco langsung berusaha menenangkannya.
"Shut... jangan nangis! Bilang sama gue ada apa?" tanya Draco ia memeluk tubuh mungil itu.
"Hiks... hiks... dia pria brengsek kak, dia bikin Mama Ova menderita," ucap Ova dalam tangisnya. Kini Draco oaham bahwa laki-laki parubaya yang ditemuinya tadi berhubungan dengan masalalu Ova.
"Dia yang buat Ova punya luka kak, luka masalalu yang nggak bakal pernah sembuh, hiks...," ucap Ova.
Draco terus mengelus surai Ova menenangkannya. Ia lagi-lagi membiarkan gadis polos itu menangis di dalam dekapannya. Tak peduli kalau pun nantinya bajunya basah yang terpenting Ova bisa menyalurkan rasa sakit hatinya.
"Jangan nangis!" pinta Draco. Ia menarik wajah Ova dari pelukannya. Draco dengan perlahan menghapus air mata milik Ova.
"Hiks... hikss... kenapa mama harus cinta sama laki-laki berengsek itu kaka. Mama nggak bakal menderita kalau rasa cinta itu enggak hadir dalam hidupnya," lirih Ova.
"Dengerin gue, jangan nangis untuk menyesali apa yang udah terjadi Ova. Itu nggak berguna bagi lo," ucap Draco.
"Tapi- tapi... mama nggak bakal menderita kalau laki-laki itu nggak hadir dalam hidupnya," lirih Ova.
Draco menghela nafas, sudah beberapa kali gadis itu menangis akibat luka lamanya. Draco tak tega, gadis itu terlihat sangat tertekan. Andai Draco bisa menggantikannya. Ia akan melakukannya. Asal tidak ada merenggut wajah ceria milik Ova.
"Jangan nangis Ova, lo nyiksa gue."
🐳🐳🐳
Maaf gak jelas. Aku mau buat konflik, walau sejatinya aku paling benci konflik. Soalnya kalau nontin TV pas konflik bawaannya pengen matiin. Nggak tau kenapa, enggak suka aja gitu. Yah malah curhat.
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN SAHRE!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher & Black Shoes ✔
Teen FictionCERITA INI HASIL PEMIKIRAN AKU SENDIRI. Jadi, kalau nanti ada kesamaan tokoh, panggilan tokoh, karakter, atau alur. Itu tidak sengaja. Jangan Lupa Vote, Comment, and Follow. Menghargai penulis adalah apresiasi terbaik untuknya. Cerita ini aku ikutk...