D E L A P A N

6.8K 526 12
                                    

Hati Vania tertohok saat mendengar jika Aora pergi bersama Vraska.

"Tante sama om tau Aora pergi kemana?" tanya Vania kepada kedua orangtua Aora.

"Om gak tau. Malahan mereka langsung pergi gitu aja, gak pamit."

"Tadi om sempet cariin si Aora. Terus om liat deh lewat cctv, dan om liat kalo si Vraska kayak ngajak jalan Aora," tambah Dedi yang terdengar seperti memanas-manasi di telinga Vania.

"Oh gitu. Yaudah om, tante. Vania balik ke kamarnya Aora dulu ya, mau nungguin dia pulang," pamit Vania dengan sopan.

"Iya Vania."

---

Di kamar, Vania termenung.

"Bukannya gue udah cerita ke Aora ya kalo gue naksir Vraska?"

"Emang gue gak secantik dia. Tapi seharusnya Aora bisa ngejaga hati dong."

Dalam hati Vania terus bertanya-tanya. Mengapa Aora bisa mengembat doinya?

Tiba-tiba pintu kamar Aora terbuka. Vania segera melipat tangannya.

"Hebat ya lo Ra," ucap Vania saat melihat Aora meletakkan telepon genggam di meja belajar..

"Hebat kenapa Vania? Aora ranking kelas? Udah keluar pengumumannya?" Aora sudah merasa perasaannya tidak enak. Namun sebisa mungkin ia membawa suasana menjadi bercanda.

"Disaat kayak gini lo masih mau ngelawak Ra?"

"Hah? Maksud Vania apa?" Aora meneguk ludahnya.

"Bisa-bisanya lo deketin si Vraska. Gue kan udah bilang tadi kalo gue suka sama Vraska, dan gue juga udah bilang sama lo jangan ngembat Vraska. Masih banyak woi cowok lain diluar sana."

"A-aora gak de-deketin Vraska," jawab Aora dengan gugup.

"Gue tau Ra. Lo cantik dan lo primadona sekolah. Tapi apa harus lo sama Vraska? Lo mau tenar? Lo mau cari sensasi?"

"Nggak Vania. Aora bukan tipe orang kayak gitu. Dengerin penjelas Aora dulu."

"Basi lo Ra!" ketika Vania hendak pergi dari kamar Aora, Aora langsung menghalangi langkah kakinya.

"Minggir! Gue bilang minggir gak lo?!" bentak Vania keras.

"Vaniaa dengerin penjelasan Aoraaa," Aora menangis. Tapi ia hanya bisa menatap kepergian Vania dengan air mata yang berlinang.

---

Dalam perjalanan pulang, cacing-cacing di perut Revan terus menari-nari kelaparan.

"Gara-gara Aora tadi, jadinya cacing di perut gue belum kenyang. Bangsat!" ucap Revan emosi.

Revan mencari-cari warung yang cocok untuk dirinya. Akhirnya ia menemukan warung lalapan yang biasa dia beli bersama Sandy.

"Pak. Pesen es teh, bebek goreng dua, nasi nya juga tambain agak banyak," sontak permintaan Revan membuat karyawan disana mendelik.

"I-iya mas," pelayan itu bergidik ngeri layaknya melihat monster yang siap memakan siapa pun di hadapannya.

Saat menunggu pesanan datang, Revan tidak sengaja melihat perempuan yang terlihat familiar di matanya.

"Ma-mama?" ucap Revan dengan terbata-bata saat melihat Diana berduaan dengan suami barunya.

Suami?

"Gue gak pantes panggil dia mama," karena kesal, rahang Revan menjadi mengeras.

Dan, mood makannya menghilang begitu saja.

Dengan langkah pasti Revan menghampiri Diana. Tangannya mengepal kuat karena emosi yang melanda.

"Oooh jadi ini SUAMI baru lo," Revan sengaja menekan kata suami di depan mamanya.

Sontak Diana dan lelaki di sebelahnya kebingungan.

"Siapa ya?" tanya lelaki itu.

"Lo gak perlu tau gue siapa karena kita gak ada urusan," sungguh kata-kata yang terdengar ringan tapi sangat menohok.

"Dan lo-" Revan menunjuk tajam Diana.

"Gue menyesal dilahirin orang pengkhianat kayak lo."

Setelah mengucapkan itu, Revan pergi tanpa jejak. Diana masih terdiam mencerna kembali kata-kata Revan.

"Apa itu Revan?" pikir Diana dalam hati.

---

Hari ini mood Revan sangat berantakan. Terutama saat tadi melihat mamanya yang sudah hampir 12 tahun tidak bertemu.

Tok tok tok...

Pintu kamar Revan berbunyi, tanda ada orang yang akan masuk.

"Masuk."

"Papa?" kata Revan saat melihat Sandy.

"Belum tidur Van?"

"Belum."

"Apa gue cerita kalo tadi gue liat mama ya?" pikir Revan dalam hati.

Saat menatap mata Sandy, Revan melihat mata papanya sayu. Seperti sedang kelelahan.

"Lebih baik gue gak cerita dulu. Dari pada nanti papa sakit mikirin tuh orang," pikir Revan penuh pertimbangan.

Meskipun Revan sering bersikap cuek kepada orang-orang. Namun dia tidak bisa melakukan itu kepada Sandy, karena hanya Sandy lah yang merawat dirinya sejak kecil.

"Revan," panggil Sandy pelan.

"Kenapa pa?"

"Nanti kalo kamu punya pacar, cari perempuan yang setia dan sabar ya. Papa gak mau kamu ngerasain hal yang sama kayak papa dulu."

Revan tahu betul jika sekarang Sandy sedang mengingat memori dulu akan Diana.

"Pa, Revan ngerti kenapa papa ngomong kayak gini. Udah pa, lupain mama. Revan udah terlanjur kecewa sama mama pa. Kita buka lembaran baru tanpa mama pengkhianat itu," ucap Revan dengan nafas yang memburu.

"Van, jangan gitu. Bagaimana pun Diana yang ngelairin kamu. Kamu gak boleh bersikap kayak gitu."

"Revan gak pernah minta dilairin sama dia pa. Dan mama lah yang ngebuat sikap Revan kayak gini."

"Hus gak boleh gitu Van. Ya udah cepet tidur, papa juga mau tidur."

"Iya pa."

Baby Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang