12. Satu persatu

2.7K 611 33
                                    

Selamat membaca dan semoga terhibur!

Jangan lupa pencet bintang (⭐) di bawah sebelah kiri ya!

Thank you.

💎

Kesepuluh saudara yang tersisa memilih untuk berhenti di tempat Mashiho di ketahui menghilang. Jihoon yang masih gak percaya itu mendapat pelukan penenang dari Yoshi serta Junkyu. Duduk bersandar di dinding yang ada, Jihoon menatap nanar ke depan. Begitu syok, tentu. Karena seharusnya, dialah orang yang bertanggung jawab untuk menjaga Mashiho di belakangnya.

Bodoh. Jihoon benar-benar kecewa pada dirinya yang terlampau takut dengan sesuatu yang nantinya akan terjadi padanya. Tanpa peduli Mashiho yang selama ini telah melindunginya dari belakang.

"Mas, udah. Dari dulu sampai sekarang, nggak akan ada yang berubah kalau terlalu meratapi kesalahan. Kita semua tahu, lo nggak mungkin ngelakuin itu dengan sengaja. Makanya cukup renungan kesalahan lo, dan ayo kita diskusi gimana caranya bisa temuin ketiga saudara kita," jelas Doyoung yang mampu membuat Jihoon mendongak untuk menatapnya yang tengah berdiri di depannya dengan sorot matanya yang serius.

Benar. Jihoon juga nggak mungkin diam menyesal selamanya. Mereka perlu segera bergerak agar mereka semua akhirnya bisa lengkap kembali. Lantas Jihoon mengangguk, "Maaf semuanya."

Yoshi menepuk pelan pundak Jihoon, senyum simpulnya bersinar dalam remangnya ruangan. "Kita pasti bisa temuin mereka dan pulang kok," hiburnya. Dan Jihoon sanggup tersenyum tipis mendengarnya.

Ya, semoga.

Kamu berjalan pelan, mengamati setiap sisi yang kamu lewati. Seperti sebuah lorong yang panjang dengan dinding-dinding dan cat putihnya yang mengelupas. Nggak ada hiasan atau pajangan. Atap plafon yang koyak dan gak adanya cahaya matahari yang bisa masuk menjadi alasan pasti kenapa ruangan ini begitu lembap, penuh akan bau jamur yang berpadu.

Kamu menjadi semakin khawatir tentang Junghwan di dalam oksigen yang buruk ini. Dia pasti baik-baik aja kan? Kamu selalu berpikir seperti itu. Hingga sampai pada adanya persimpangan antar ruangan tanpa pintu yang membuatmu akhirnya bergerak untuk memeriksanya terlebih dahulu.

Nggak lupa nama adikmu pun tersebut. "Junghwan? Kamu di sini?" teriakmu menggema. Ponsel yang masih tergenggam terarah pada setiap sisi yang ada, seperti di awal- kosong. Hanya ada sarang laba-laba dan debu di sana-sini. Cukup membuatmu sesak akan partikelnya yang masuk ke hidungmu.

Tanganmu mengibas-ngibas di depan wajah, berusaha mengusir debu yang datang di setiap langkahmu. Setelah nihil, kamu pun berbalik, hendak memeriksa ruangan di depannya. Kali ini hanya memeriksa lewat pintu masuk, menyorotkan sentermu ke dalam dan ya, sama aja. Bedanya di ruangan kali ini, ada satu kursi kayu dan satu tongkat balok yang tergelatak begitu aja di lantai. Terlihat lama dan nggak dibutuhkan. Maka kamu pun kembali bergerak, melangkah kembali di jalan utama dan suara yang lirih pada awal masukmu itu kembali terdengar.

"Mbak..."

"Junghwan?" sekali lagi, alismu bertaut dan langkah kakimu semakin mendekat.

"Mbak... jangan!- ke sini..."

"Apa?! Junghwan! Kamu di mana?! Jawab!" kini langkah ragu sebelumnya menjadi sebuah larian tergesa ingin segera sampai pada asal suara. Bertemu kembali dengan beberapa ruangan dan nggak lupa memeriksa sebelum kembali berlari ketika nggak adanya siapapun di dalam.

"Junghwan..."

Petunjuk. Tolong, kamu butuh petunjuk di mana Junghwan berada sekarang!

Bruk!

"Argh! Sial!" tersandung oleh kaki sendiri di saat gelisah seperti ini sungguh membuatmu kesal bukan main. Air matamu yang entah sejak kapan menghalangi penglihatanmu kini mengalir lancar turun ke pipi dengan derasnya. Ponselmu nggak ada gunanya kecuali hanya untuk penerang jalan, menghubungi para saudaramu adalah hal yang mustahil. Kembali keluar apalagi. Ini udah cukup jauh, dan kamu nggak bisa abaikan suara serak adikmu yang begitu menyiksa untuk didengar.

Kamu harus cepat menemuinya.

Erangan sakitmu terdengar, betismu cukup parah tergores oleh lantai hingga darah pun mengalir dari sana. Entah bagaimana lantai ini begitu lancip hingga mampu menggoresmu begitu dalam. Namun anehnya, kamu merasa luka itu seperti sebuah cakaran dari ujung mata kaki hingga hampir mencapai lutut. Padahal kamu nggak merasakan apa-apa ketika ada sesuatu yang membuatmu terluka.

"Aneh."

Bugh!

Matamu membulat. "Ah, apaan lagi sih," gumammu kesal. Mengambil kembali ponselmu yang sempat terlempar beberapa meter ke depan dan berdiri sambil menyangga kaki kirimu yang luka sebelum kembali berjalan dan mencari asal dentuman barusan. Ada satu ruangan kecil di sebelah kirimu, bisa dibilang sebuah kamar? Karena kali ini pintu berwarna cokelat matang itu ada di hadapanmu. Kamu mencoba mendekat dan menempelkan telingamu pada daun pintu, memeriksa apakah benar suara itu memang berasal dari dalam?

"Sshhh.. Aw!"

Dari suaranya kamu sungguh nggak asing, jangan bilang kalau yang di dalam adalah-

Klek!

"Loh, Mas?!"

Salah satu saudaramu terduduk memegangi lengan kanannya, lantas ketika wajahmu menjadi objeknya ia tersenyum puas, dia mencoba berdiri dan berhasil. Berjalan mendekat dan dalam satu tarikan pasti, kamu telah berada dalam dekapannya.

"Adek.. mas kira nggak bakal bisa ketemu kamu lagi, hiks."

Mashiho memelukmu dalam leganya, menjadikanmu senang namun juga bingung.


"Mas, kamu.. kenapa bisa di sini?"


 kenapa bisa di sini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued.

Wednesday, 30 december 2020

(+) teume! how is it? tmapnya satisfying bgt, aku gemes si junkyu ngga gercep ambil n-tagnya asahi (ToT), jadi ketauan deh╥﹏╥ itu sih gregetnya huehue. kalo kalian, apa nih yg buat greget? chapter ini buat greget juga ngga? 🙃

Publish: Friday, 29 january 2021

Treasure Family 2 : Hotel Trivago | Treasure (12+1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang