Kedua kaki itu melangkah dengan pelan untuk memangkas jarak, mendepak lantai dengan hati-hati, pun kedua irisnya tak lepas dari presensi gadis yang tengah bergelut dengan mimpinya di atas ranjang. Degup jantungnya kian menggila, terlebih ketika ia mulai meletakkan segelas air putih di atas nakas, lekas mengambil pisau lipat yang berada di sakunya.
Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.
Joan Rena tidak akan pernah terbangun jika tidak berada di waktunya, pada jam dimana ia biasa membuka matanya. Rena bukanlah tipe orang yang tidurnya mudah terganggu dengan suara-suara kecil di sekitarnya, bahkan dengan suara bising sekalipun. Ia tidur begitu nyenyak. Ya, setidaknya itulah yang ia tahu setelah bekerja di rumah ini selama hampir empat bulan lamanya, sebelum Rena datang dari Jerman untuk pindah. Pun, ia telah dipercaya menjadi salah satu pelayan yang setia oleh Rena sendiri. Tentu menjadi keuntungannya.
Menghela napas, merasakan kegugupan luar biasa di dalam sana, dengan hati-hati pelayan itu pun mulai berjalan kian mendekat, menatap sejenak gadis yang tidur memunggunginya tersebut. Harap-harap cemas bila ia gagal nantinya. Gadis yang memperlakukannya dengan baik, yang memberinya kepercayaannya, hari ini, ia harus membunuhnya.
Wanita itu pun kian mengeratkan genggamannya pada pisau lipat miliknya, lekas menaiki ranjang dengan pelan dan berhenti tepat di belakang Rena. Ia pun mengangkat pisaunya tepat di atas leher gadis itu, menyeringai sesaat sebelum kemudian menghunuskannya.
"Selamat tinggal Nona Muda."
DORR!
Lydia yang tengah berkumpul di ruang tengah bersama dengan Pak Waren, Lucy, dan Danny pun sontak membelalak, terkejut setengah mati. Tak terkecuali para pelayan dan bodyguard lainnya yang juga mendengar suara itu.
"Siapa yang berani menggunakan senjata di rumah ini?" gumam Pak Waren.
"Tunggu! Suara tersebut sepertinya berasal dari kamar Nona Joan," ujar Lucy yang menyadarinya.
Mendengar itu, keempat orang penting tersebut pun sontak buru-buru berlari menuju kamar Rena dengan kekhawatirannya. Terlebih lagi Lydia yang nyaris merasakan jantungnya seolah merosot karena begitu paniknya.
Dan manakala mereka telah sampai di kamar Rena, keempat orang itu pun sontak membelalak tatkala menemukan Rena yang hampir seluruh tubuh bagian atasnya dipenuhi dengan darah, tengah menatap datar seseorang yang tergeletak tak berdaya di atas lantai dengan begitu santai seraya memainkan pistolnya.
"NONA!" pekik Lydia yang kembali berlari mendekat.
"Kau baik-baik saja?" tanya wanita itu dengan panik seraya mencoba menggerayangi tubuh Rena, mencoba menemukan luka dan terkejut kala ia mendapati leher gadis itu yang terluka. "Nona, kau terluka," lirih Lydia.
Sementara itu, Pak Waren yang mengecek pelayan tersebut pun menggeleng tatkala tidak lagi menemukan denyut nadi pada perpotongan leher wanita itu. "Dia meninggal."
"Nona, apa dia berusaha membunuhmu?" tanya Lucy.
"Panggil pelayan! Segera bawakan kotak obat dan singkirkan mayat wanita ini!" titah Lydia kepada Lucy yang segera dipatuhi oleh gadis itu.
Disaat semua orang begitu panik, Rena justru mengulas senyumnya dengan tenang, lekas menyingkirkan tangan Lydia yang berusaha membersihkan darah yang hampir memenuhi seluruh wajah dan tubuhnya dengan pelan dan memilih menuruni ranjang dengan santai.
"Nona, kau harus diobati! Luka di lehermu--"
"Aku baik-baik saja. Bersihkan semua ini sebelum aku selesai!" potong Rena seraya melangkahkan kakinya yang menginjak darah wanita itu, dan mulai berjalan pelan menuju kamar mandi hingga menciptakan jejak kakinya yang berwarna merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REASON
FanfictionDari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya kendati rasanya mustahil. Setidaknya, ia akan mengutuk Joan Rena yang berhasil mendobrak bentengnya...