"Oh? Bukankah itu Tuan muda Jinyoung? Dia... "
Lydia lantas buru-buru melipat bibirnya ke dalam, menyadari bahwa ucapannya tersebut barangkali akan mengundang rasa gelisah nona di sampingnya yang mana kini atensinya telah tertarik untuk melihat, pun terdiam setelahnya. Wanita itu pun lantas merutuki diri sendiri dalam diam dan berusaha mengalihkan atensi sang nona, berusaha mengajaknya bicara kendati tampak dengan sangat jelas bahwa Rena tak tertarik sedikit pun, melainkan terpaku pada sosok Jinyoung dan Sara yang berada di depan—terjebak lampu merah bersamanya dengan menaiki sepeda motor kesayangan pemuda itu, pun bersama gelak tawa yang dilayangkan sesekali hingga membuat Sara memukul pelan bahu pemuda itu.
Bagaimana bisa kau lakukan itu padaku?
"Nona, sepulang sekolah nanti, kau mau jalan-jalan? Pak Waren bilang, dia tahu beberapa tempat yang bagus... "
"Nyonya Park bilang, dia keluar. Dan ibunya mengira bahwa dia pergi denganmu, Nona."
"Tentu saja. Kami memang berencana pergi keluar setelah ini, dia menghubungiku tadi malam dan memintaku untuk menemaninya pergi."
"Tetapi dia pergi dari satu jam yang lalu, Nona."
"Apa maksudmu?"
"Atau Nona ingin berwisata kuliner? Kita akan pergi nanti jika Nona setuju, kudengar akhir-akhir ini... "
"Kak Jinyoung belum datang?"
"Pelayan di sana bilang, dia telah berangkat pagi-pagi sekali."
"Tetapi, dia tidak bilang padaku. Kau yakin?"
"Mari saya antar dengan mobil, Nona. Kau bisa terlambat jika menunggunya lagi, yang sudah jelas-jelas dia meninggalkanmu."
"... bagaimana? Kau setuju?"
Ada sekelumit rasa getir yang kini mulai memenuhi ruang di dalam sana, rasa nyeri yang datang bersama kekecewaan miliknya, apakah ia terlalu berharap hingga membuat hatinya patah? Sial! Rena tak pernah menyangka bahwa rasanya sesakit ini, pun karena ulahnya sendiri kala menaruh kepercayaan terlampau banyak pada manusia yang mana tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Menghela napas berat, lantas menarik pandang dan beralih memasang earphone di kedua telinganya—berusaha bersikap abai lantaran menyadari bahwa wanita di sampingnya terlihat khawatir, Rena pun lantas berujar lirih sebelum kemudian mengatupkan kedua irisnya. "Lain kali saja, maaf."
Ia benar-benar meminta maaf dengan tulus kendati terdengar begitu dingin atau barangkali tidak sopan. Namun, Rena tak mengelak kala rasa sesak mulai menyelinap di dalam sana, ia berusaha mati-matian mengabaikannya kendati begitu sulit. Mendengar hal itu, Lydia pun spontan menghela napasnya. Menyadari bahwa suasana hati Rena telah memburuk sejak kemarin, pun ditambah dengan kejadian tadi pagi hingga barusan, tak mengelak jika itu berhasil mengobrak-abrik hatinya saat ini. Ia merasa kasihan, namun tak dapat melakukan apa pun.
Pun kendati Rena tidak benar-benar telat, atau dapat dikata nyaris, gadis itu belum juga dapat mengubah suasana hatinya menjadi lebih baik lagi seiring waktu berjalan. Terlampau sulit, sampai-sampai membuat He Young kebingungan sendiri karena gadis itu memilih diam, tak banyak bicara seperti biasanya. Hal yang aneh, setidaknya, Rena akan sering menatapnya hanya untuk berbincang ringan atau sekadar melempar senyuman. Tetapi ini, ia tidak melakukan apa pun selain terdiam, seolah berusaha membangun benteng untuk dirinya sendiri, barangkali agar orang tak memutuskan untuk mendekat padanya.
Hingga saat ini, ketika golongan pemuda di kelasnya telah berhasil menyelesaikan tes lari untuk penilaian yang diminta guru olahraga dan menyatakan Jeon Jungkook sebagai 'si nomor satu', Rena hampir larut dalam lamunannya jika saja He Young tak menepuk pelan bahunya pelan dan membuat gadis itu lantas terkesiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REASON
FanfictionDari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya kendati rasanya mustahil. Setidaknya, ia akan mengutuk Joan Rena yang berhasil mendobrak bentengnya...