"Ibu, mau mendengarkanku? Kali ini saja."
Dalam beberapa saat, Nyonya Park hanya terdiam seraya berkedip lambat. Merasakan atmosfer perlahan mendadak berubah begitu dingin hingga rasa-rasanya sanggup menusuk kulitnya, Nyonya Park sontak bertanya-tanya dalam diam. Manakala menemukan rahang sang putra yang kini tampak begitu tegas, pada kedua iris yang menatap muak, juga dengan wajah yang memerah padam.
"Ji-Jinyoung," panggil nyonya Park lembut. Tampak dari rautnya bahwa ia pun panik--kebingungan, juga sedih dalam satu waktu yang bersamaan ketika menyadari bahwa sang putra barangkali terluka karenanya.
Tidak, tidak. Jangan menatap Ibu seperti itu, Jinyoung!
Jinyoung pun lekas melepaskan tasnya, membuangnya asal sebelum kemudian menarik satu langkahnya ke depan, menatap ibunya penuh luka. "Kau lihat, Bu? Kau melihatnya? Hatiku terasa begitu sakit sekarang."
"Jinyoung, apa yang kau katakan?"
"Jinyoung kau harus belajar lebih giat lagi, Jinyoung kau tidak boleh gagal! Jinyoung, jangan biarkan seseorang berada di atasmu! Jinyoung, jadilah anak yang pandai! Park Jinyoung... " Pemuda itu sontak menarik napas dalam-dalam, manakala merasakan rasa sesak mendadak menyelinap di dalam sana, pada kedua iris yang mulai memanas, juga pada kepalan tangan yang mulai menguat, ia menahan diri.
"Jinyoung... Jinyoung jadilah anak yang baik! Jinyoung jangan membangkang pada ayah dan ibumu! Jinyoung jangan jadi seperti kakakmu... Park Jinyoung... " Pemuda itu pun lekas menjeda ucapannya, mendadak terisak dan terbata-bata. "Jinyoung... Park Jinyoung... mengapa kalian melakukan semua ini padaku?"
Nyonya Park awalnya tak percaya pada kedua irisnya yang merekam begitu jelas setiap air mata yang turun dari pelupuk mata anaknya. Lebih dari itu, ia benar-benar tak mengerti mengapa putranya mendadak seperti ini. "Jinyoung, ada apa denganmu? Kau memang harus menjadi seorang pengacara, atau bahkan hakim terbaik di negeri ini! Apa pun yang kau bisa, entah jaksa, kepala kejaksaan, atau apa pun itu. Kakakmu tidak bisa melakukannya, tetapi Ibu yakin bahwa kau—"
"ABUNYA BAHKAN TELAH TERPENDAM DI BAWAH TANAH, KAU LUPA?! BAGAIMANA BISA KAU MENGUNGKIT HARAPAN KONYOL ITU PADANYA!"
"AKU... BUKAN PUTRAMU LAGI!"
Deru napasnya memburu, rasa panas serasa berada di sekujur tubuhnya, mengalir cepat di seluruh peredaran darahnya hingga membuat kepalanya nyaris meledak karena memanas. Ketakutan itu datang lagi, dan Nyonya Park benar-benar telah kesulitan mengendalikan dirinya sendiri.
"AKU... "
Tidak. Tidak, Jinyoung!
"AKU BUKAN--"
PLAKKK!
"PARK JINYOUNG!"
Suasana sontak berubah hening dalam sekejap setelah tamparan kuat-kuat dan teriakan murka yang diberikan Nyonya Park pada putranya tersebut. Jinyoung sendiri sontak terpental ke samping, mati-matian menguatkan dirinya agar tak terjatuh dan merasakan hatinya sakit bukan main setelahnya.
"Beraninya kau berbicara seperti itu pada ibumu! Kau waras?!" Nyonya Park bahkan dapat merasakan bagaimana telapak tangannya berubah menjadi kebas dan rasa panas menjalar dalam sekejap, menemukan kekecewaan dan kebingungan kini tengah membelenggunya begitu kuat hingga rasanya begitu sesak. Seolah kembali dibawa pada waktu yang lalu, dimana semuanya tak dapat terkendali, pada kekecewaan beserta amarah yang membumbung tinggi hingga mensamaratakan atmosfer bersama dengan luka di setiap hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REASON
FanfictionDari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya kendati rasanya mustahil. Setidaknya, ia akan mengutuk Joan Rena yang berhasil mendobrak bentengnya...