"Tenanglah! Tetap di sini dan tunggu sampai aku kembali. Kau mau mendengarkanku, kan?"
Dalam beberapa saat, Rena kecil itu pun perlahan mengangguk di antara rasa takutnya yang kian meluap-luap. Membiarkan seseorang menjadi tameng untuknya, mencoba menaruh harap, dan berusaha mengendalikan dirinya sendiri yang kala itu begitu panik dan ketakutan.
"Kau bisa percaya padaku. Aku bersamamu."
Setelah Rena mengangguk, bocah laki-laki yang bersamanya itu pun mengulas senyumnya, sempat mengusap lembut puncak kepalanya sebelum kemudian beranjak pergi dengan sisa tenaga dan keberanian yang ia miliki.
Gadis itu tak berhenti memanjatkan doanya, berharap agar semua akan baik-baik saja. Ia dapat kembali pulang, sedangkan dua anak lainnya yang berada di dalam gudang pun akan selamat juga sepertinya. Rena bahkan sempat berpikir bahwa ia akan mati bersama dengan kedua bocah lainnya di dalam gudang itu. Ia sempat ingin menyerah dan putus asa.
Namun ketika seseorang berkata padanya, bahwa mereka harus pergi dari tempat itu kendati mereka akan mati nantinya, Rena sadar betapa berharganya hidupnya hingga harus mati-matian berusaha keluar dari neraka itu.
"Kumohon selamatkan mereka, Tuhan," bisiknya dalam doa.
Satu, dua, hingga tiga jam kemudian bocah yang menolongnya tadi tak kunjung datang. Sore menjelang malam, sedang hujan turun begitu lebat setelahnya. Rena bahkan harus memeluk dirinya sendiri malam itu karena kedinginan, pun ia harus tetap waspada jika sewaktu-waktu orang-orang 'itu' dapat menemukannya.
"Mom, Dad... Rena takut. Aku rindu kalian."
Menahan lapar yang terasa membakar perutnya, menahan rasa dingin yang nyaris menusuknya, gadis itu tidak henti-hentinya berdoa agar semuanya segera membaik. Ia rindu ibu dan ayahnya yang bahkan baru seminggu yang lalu meninggalkannya karena tewas dalam kecelakaan pesawat, dan setelah itu ia tiba-tiba diculik dan terukurung di neraka bersama dua bocah laki-laki lainnya. Ia benar-benar ketakutan.
"Tuhan, selamatkan kami. Bantu kami. Aku memohon kepadamu."
Manakala ia hampir menyerah, bocah laki-laki yang tadi meninggalkannya untuk kembali mengecek kondisi dua bocah lainnya yang masih tertinggal di gedung pun datang bersama dengan seorang wanita. Mereka pun turun dari mobil dan tampak terburu-buru mendatanginya dengan cemas.
Sedang Rena sendiri nyaris kehilangan kesadarannya. Tubuhnya menggigil, hawa panas serasa menyeruak di sekujur tubuhnya, perutnya terasa begitu perih, sedang badannya terasa akan remuk dengan mudah setelah ini. Kedua irisnya tak sanggup lagi terbuka, mulutnya pun dipaksa digerakkan mati-matian kala berujar dengan terbata-bata. "To... tolong. Tolong a... aku. Kumohon tolong aku."
"Jinyoung tunggu di sini sebentar! Ibu akan kembali." Seusai mengatakan itu, Nyonya Park pun buru-buru berlari menuju mobilnya untuk mengambil sesuatu di sana.
Sedang, Jinyoung sendiri buru-buru berjongkok di depan Rena, lantas meraih kedua tangan gadis itu untuk digenggam, sesekali digosok untuk menimbulkan rasa hangat di tengah dinginnya malam.
"Maaf datang terlambat. Bertahanlah! Kau akan selamat."
"Jinyoung minggir!" ujar Nyonya Park seraya memakaikan Rena mantelnya, lekas digosok pelan kedua lengannya dan mencoba memanggil-manggil gadis itu agar tetap tersadar.
"Nak, kau mendengarku?"
Namun, Rena kala itu sudah tidak sanggup lagi untuk tersadar, terlalu berat baginya.
Hingga tatkala ia kembali terjaga dan mendapati fakta bahwa ia kembali berada di tempat yang asing, gadis itu pun berusaha menjaga ingatannya agar tetap utuh sementara rasanya ia begitu lemas kala bocah yang menolongnya--yang baru saja uia ketahui bahwasannya namanya adalah Park Jinyoung menyuguhkan fakta mengerikan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REASON
FanfictionDari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya kendati rasanya mustahil. Setidaknya, ia akan mengutuk Joan Rena yang berhasil mendobrak bentengnya...