Chapter 11

2.6K 351 104
                                    

Tuan Jeon nyaris jantungan manakala mendapati putra semata wayangnya itu pulang dengan babak belur, pun tampak begitu santai dengan berjalan menuju kamarnya. Seolah luka pada wajah dan tangannya hanyalah sebuah saus yang bila diguyur dengan air maka akan hilang dengan sendirinya, sementara sang ayah berlari menyusul putranya dengan panik.

"Ada apa dengan wajahmu itu? Kau berkelahi lagi, Jung?"

Memutar kenop pintu, membiarkan sang ayah mengikutinya dari belakang, Jungkook tak langsung menjawab dan memilih mendudukkan diri di tepi ranjang, sementara sang ayah mulai berkacak pinggang dan menatap penuh kekhawatiran.

"Katakan pada Ayah!"

Sungguh, Tuan Jeon tengah didera kekhawatiran yang semakin menjadi-jadi tiap detiknya, ayah mana yang diam saja ketika melihat anaknya pulang dengan penuh luka? Ia bahkan buru-buru menyuruh sekretarisnya untuk menghubungi dokter keluarga mereka hanya karena takut putranya mendapati luka yang serius, namun, alih-alih bersikap kesakitan atau bahkan sekadar mengeluh, Jungkook hanya diam—masih kesal karena tidak diperbolehkan menggunakan sepeda.

"Jeon Jung—"

"Iya, iya. Aku berkelahi, dengan tiga pria sekaligus," jawab Jungkook pada akhirnya.

Rahang Tuan Jeon pun sontak merosot dalam seketika, kedua irisnya lantas membelalak menatap putranya tak percaya sementara ia berusaha menahan diri agar tidak menambahi pukulan di kepala anaknya itu. Sedang, Jungkook kembali memberengut kesal kemudian. Ya Tuhan! Bagaimana bisa dia setenang itu kendati sudah pasti luka yang ia dapat menimbulkan rasa perih dan nyeri seiring detik merajam?

Lagipula, kenapa tangannya begitu enteng untuk menghajar orang?

Pening menyelinap begitu saja hingga membuat kepala Tuan Jeon mendadak terasa berat, sementara kekesalannya berusaha untuk ditahan tatkala menyadari bahwa sang anak masih saja merajuk.

"Anak kurangajar! Kemari kau!"

Manakala sang ayah bersiap untuk mendatangi dan menghadiahi dirinya pukulan kembali, Jungkook pun membelalak dan buru-buru berujar panik menambahi, "Mereka menghajarku duluan!" beonya.

"Apa?"

"Mereka yang mencari masalah lebih dulu, kau mau aku diam saja? Aku mencoba menghajar mereka kemarin, tetapi seseorang menghentikanku, lalu mereka bertiga menertawakanku seolah-olah aku pengecut. Kau terima anakmu ini direndahkan begitu, Yah?"

Berkedip lambat, terbesit rasa bersalah dalam hatinya manakala mendengar suara sang anak yang terdengar jujur, Tuan Jeon dapat merasakan seolah-olah ucapan Jungkook tersebut berhasil menjadi mantra untuk ketenangan yang menyelinap di antara besarnya kekesalannya. Merasa ada benarnya, dan sedikit menyesal kemudian. Pun setelahnya ia kembali bersidekap dan mencoba mendengarkan lebih banyak.

"Kau tahu, aku sudah biasa dengan perkelahian hingga membuatmu muak. Tetapi, kau sendiri yang mengatakan padaku jika tidak seorang pun berhak memandang rendah diriku! Tidak ada seorang pun yang boleh menindasku atau bahkan membuatku merasa dipermalukan. Itu melukai hatimu juga. Bukankah kau yang mengajariku?"

Ah, benar juga. Tuan Jeon memang mengajarkan hal semacam itu pada putranya, sedari dini. Hanya ingin putranya merasa bebas dan tidak ada yang mengganggunya, sementara ia sendiri tidak bisa mengawasi Jungkook dengan sesering mungkin. Pun karena ia tumbuh besar tidak selayaknya anak seusianya, dia telah melalui banyak hal sulit yang seharusnya tidak didapatkannya.

Menelan saliva kaku, mencoba merubah raut wajahnya setenang mungkin, Tuan Jeon pun menatap putra semata wayangnya itu sedikit penasaran bersama sisa kekesalannya. "Siapa yang menghentikanmu menghajar mereka? Kenapa juga kau menurut?"

THE REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang