"Rena?"
Gadis yang dipanggil sontak tersentak, buru-buru menoleh dan mendapati Nyonya Park beserta suaminya tengah menatapnya khawatir. Ada gurat keraguan dalam seketika, Rena pun lekas menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Rupanya, ia mendadak melamun dan tanpa sengaja menghilangkan kepekaan atas rungunya.
"A-ah, iya, Bi? Maaf karena tidak mendengarkan Bibi tadi."
Nyonya Park pun menghela napas lega. Lekas turut mengulas senyumnya sebelum kemudian berujar lembut, "Kami bertanya apakah hari ini kau baik? Maksudku, di sekolah."
Rena sempat terdiam, mencoba mencerna alasan seperti apa hingga membuat Nyonya Park bertanya demikian. Tidak, tidak. Mereka memang kerap bertukar kabar, berbagi cerita satu sama lain layaknya keluarga. Hanya saja, kali ini mungkin berbeda sebab terlihat dari raut Nyonya Park yang tertera kekhawatiran di dalamnya. Barangkali, ada yang mengganggu perasaannya hingga menatap demikian.
"Aku melihat wajah Jinyoung hari ini, dan aku terkejut karena dia mendapatkan banyak lebam."
Ah, begitu!
Rena sontak mengangguk, mengerti kemudian. Gadis itu mengusap tengkuknya ragu, sedikit gamang tatkala membalas, "Aku tidak yakin, tetapi sepertinya dia memiliki masalah dengan siswa lain."
"Wajahnya sampai lebam begitu. Mungkinkah masalahnya begitu besar?"
"Seperti tidak tahu pemuda zaman sekarang saja. Itu hal yang wajar!" sahut Tuan Park begitu menyadari bahwa istrinya begitu khawatir.
Dan lagi-lagi, Rena merasa janggal karenanya. Ah, Sial! Rena tidak tahu mengapa seolah semesta sengaja memperlihatkan ini padanya—seakan jelas menjadi bagian ganjil yang dilesakkan dalam kepalanya untuk dipikir lebih jauh.
"Itu—"
"Aku pulang!"
Seruan Jinyoung sontak mengalihkan atensi semua orang padanya, dan jujur saja sedikit banyak membuat Rena merasa lega karena tak terlibat lebih jauh dengan konversasi menegangkan antara orangtua tersebut. Pemuda itu datang bersama senyumnya, juga dengan seorang gadis. Rena diam-dian menelisik gadis tersebut, mencoba mengeruk pada ingatannya pada bagian mana ia akan menemukan fakta bahwa ia mengenal gadis itu. Pasalnya, serasa tak asing, namun ia tidak yakin pernah melihat di mana.
"Ayah, Ibu, ini temanku. Namanya Sara," ujar Jinyoung seolah tahu kebingungan yang tercipta setelahnya.
"Selamat malam, Paman, Bibi." Gadis itu membungkuk hormat, selaras dengan senyumnya hingga membuat Nyonya Park dan suaminya turut membalas senyumnya.
Manakala Jinyoung menyadari kehadiran Rena, pemuda itu lantas mengarahkan tangannya pada Rena seraya melempar senyumnya. Seperti biasa, rasa hangat perlahan menjalar—melesak begitu cepat hingga Rena sontak tersenyum kemudian. "Dia adalah Rena. Dia murid baru sebulan yang lalu di sekolah, kau pasti belum pernah bertemu dengannya. Biar kuberi tahu, kami sangat dekat."
Sial! Sial! Sial!
Kalimat Jinyoung yang terakhir membuat Rena sontak menahan napas. Kepalanya mendadak penuh, sedang mati-matian gadis itu menahan senyumnya beserta semburat merah pada kedua pipinya. Manis. Jinyoung terlampau manis untuknya. Astaga!
"Oh, hai, Rena." Sara melemparkan senyumnya, hal itu sontak kembali membuat Rena melakukan hal yang sama seraya mengangguk.
Tak lama kemudian Nyonya Park menyuruh keduanya untuk bergabung dalam makan malam mereka. Jinyoung sontak menarik kursi yang akan diduduki oleh Sara—di seberang Rena. Sedang dirinya berhadapan dengan sang mama. Mereka kompak menyelesaikan makan dengan hening, beberapa kali Rena melirik dan mendapati Jinyoung menatapnya bersama dengan seulas senyumnya. Hal itu sontak membuat Rena kelabakan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REASON
FanfictionDari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya kendati rasanya mustahil. Setidaknya, ia akan mengutuk Joan Rena yang berhasil mendobrak bentengnya...