26. Tercekik Angan Sendiri

238 72 27
                                        

Bahu mendamba rebah,
mata merengek katup.
Isi kepala merutuki
apa yang payah,
hati membujuk:
mari kita nyalakan
kembali degup.

Tuan, ajari aku
cara menebas bosan,
mereka mengkonsumsi
leluasa kelegaan.
Lemparkan
ribuan anak panah
pertanyaan:
tinggalkan aku
selagi kebingungan.
Lain temu, tak payah
mengungkit pencerahan.
Sebab koleksi jawab,
kenyang kutelan semalam,
aku kalap pada kemungkinan.
Biarkan aku:
makan dengan nyaman.

Selamat Memakna •

Padahal dulu figur paling familiar yang Anesha hapal aromanya: hanya bayangnya. Lalu ketika ia tak ingin lagi berprasangka baik untuk akhir variasi cerita yang sempit, Kasen malah menjejali ideologi paling menggaet atensi. Tentang pemahaman sejati pada individu lain. Konyol sekali tapi menggelitik-membuat heran saja. Sial, yang konyol sewajarnya menggelitik.

Seharusnya istirahat masuk sesi di mana Anesha berlagak lari ke perpustakaan. Namun, tidak hari ini: tidak dengan lepuhan luka bakar di pergelangan. Ia terngiang cetusan Olethea pagi tadi, ah, isi kepala Anesha rupanya juga mendamba libur, kekanak-kanakkan, sejak kapan ia mengizinkan pikiran egois mengontrol?

"Ke UKS, yuk. Bolos bareng." Kasen menghampiri meja Olethea yang sibuk, dan Anesha berlagak seakan sesuatu telah merepotkannya. Anesha hampir memenuhi satu halaman sketchbook dengan gambaran anak ayam yang acak dengan variasi ekspresi.

Olethea mendongak, ia menggeleng cepat, ia menyalin tulisan tangannya sendiri. "Gue nggak bisa ikut, ini masih 7 soal lagi sebelum tepar."

Dari bangkunya, Dillon menghela napas, pagi ini ia menyadari fakta bahwa Anesha memiliki luka bakar yang jika ia tak salah dengar, Anesha dapatkan dari tempat kerja. Olethea membantu menjawab pertanyaan yang anak-anak sekelas ajukan pada Anesha. Anak itu memang kerap mencari perkara, tampaknya semua ia coba rasa. Serakah. "Yang sakit aja, yang lain jangan pura-pura sakit."

Kasen tersenyum tipis, ia mengangguk. Setidaknya pada setiap aturan yang ada, seharusnya dari sana lahir pendobrak. Kadang Kasen penasaran bagaimana terlahir sebagai pemberontak sejati layaknya Dillon. Dillon seakan meledek bagaimana dirinya tak dapat leluasa merentangkan sayap, Kasen tercekal sesuatu. "Siap Pak Ketu, gue lagi bercanda."

"Gak apa, Tha. Gue bisa selesaiin sisanya." Saat hendak merebut buku tulis miliknya yang Olethea dekami, Olethea meletakkan tangan Anesha menjauh dari batas meja buku tulisnya tertangani.

Olethea menggeleng, kalau tekadnya sudah terniat, kenapa harus setengah-setengah? Apa untungnya nyebur setengah basah? Memang niatnya akan benar tersampaikan di hati penerima? "Gue malah kasian ke Bu Waskita, Sha, lo suruh pakai nalar ke huruf alien."

Yah, sebenarnya Anesha cukup tertohok dengan pernyataan Olethea. Selama 2 windu, ia hapal benar hitungan orang yang memuji kerapian tulisan tangannya. Selalu satu tangga lebih tinggi daripada pujian pada bagaimana elok wajah Anesha menggaet atensi mereka. Bohong. Bahkan 5 tangga lebih tinggi, rupa Anesha bukan ornamen paling megah. Mungkin karena sejak awal Olethea memperlihatkan warna aslinya, porsi pemakluman Anesha jadi lebih tertata, ia senang seseorang mengoreksinya, selagi banyak hal salah ia angguki.

Sial, kecapan anak yang menjejali diri jajanan baru tirisnya membuat Anesha bergidik. Sedikit tata karma bosan bertengger di bahu, ya? "Lo mau siomai, Tha?" tanya Anesha menawarkan.

Olethea mengeryit, ia berpikir sejenak. "Bakso, sih, masih kandidat unggulan gue, Sha!" Anesha mengangguk, ia menanyakan spesifikasi lain yang Olethea butuhkan. "Tambah cheese dumpling!" Anesha menelan ludah, keju dicampur bakso? Apa tidak seperti memakan cat hambar? Ah, di mana limpahan porsi toleransi Anesha, selagi selera hanya hasil dari variasi kode paling masuk akal.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang