27. The Runner-Up Curse

193 73 26
                                        

Ada yang dilahap
detaknya
oleh detik,

masih mau
menyangkal lagi.
Meringkuk ke
celah jurang sekalipun,
kau selalu masuk dalam
hitungan.

***

2 Agustus 2022

Pagi ini, ruang kelas 10 DKV-2 sebentar lagi akan beralih menjadi portal ke ruang kafe yang sibuk. Pasalnya anak-anak di kelas malah memimikri dengungan lebah, begitu Bu Waskita—Guru bahasa Indonesia mereka—memerintahkan untuk mencari anggota kelompok.

Anesha menelan ludah, sekelebatan ingatan masa lampau itu bergelayutan begitu saja disudut lamunannya yang singkat. Jantungnya memacu lebih cepat, ah, setidaknya Bu Waskita tampak seperti orang yang kaya maklum. Semoga saja ia tidak keberatan jika Anesha mengajukan diri membuat kelompok yang berisikan Anesha seorang.

"Gue ngikut, ya, Sha!" Olethea merangkul bahu Anesha tiba-tiba. Namun, tetap terhitung ke dalam toleransi aman. Tangan Olethea menelungkup di bahu Anesha seakan ia butuh papahan. Yah, Anesha hampir lupa rasanya teramati lekat begini.

Seisi kelas belum juga menemukan pencerahan hingga Bu Waskita ditemui oleh anak kelas lain yang membawakan akuarium bundar isi bola dengan nomor urut acak. Anesha bergidik melihatnya. Seenak saja ia ditakuti oleh penundaan keefesienan lagi.

"Lah, satu kelompok sama lo, Sen? Duh, gue kok agak pesimis, ya?" Olethea mengengir lebar begitu kembali dari depan kelas, usai mengundi nomor, ia duduk ke bangkunya dengan dengusan ringan.

"Gue emang punya tampang nggak bisa diandelin, Tha?" sahut Kasen dengan senyumnya yang belum pernah Anesha dapati kering pemakluman itu.

Bukannya menjawab, Olethea malah menyembulkan cabang tanya lain. "Ngerti nggak lo gimana tugasnya?"

Kasen mengangkat bahunya santai. "Ngarep aja sih, yang agak pinteran gabung. Gue ngehargai level kualifikasi lo buat cari partner yang layak, kok, Tha."

"Bukan gitu, ya Sen gue nggak bermaksud ngeraguin kemampuan lo." Olethea berbalik badan, sadar bahwa ia sedikit melewati batas. "Maaf, deh, tadi rem blong!"

Kasen menggeleng ringan, tersenyum simpul. "Kok lo malah ngelawak, Tha? Karena lo pastiin lagi, berarti yang tadi beneran ngeledek?"

***

"Bung, dapat nomor berapa?" tanya Dillon begitu Bunga kembali dari depan kelas. Tugas Bu Waskita memang selalu saja pelik.

Bunga tersenyum semringah ke arah Dillon dan Melody. "8 Kak, sama kayak kalian."

"Halo?" Wren tampak ragu-ragu ikut bergabung. Dengan menyeret derap langkahnya secara teliti. Ia berdiri canggung disudut meja Bunga.

Entah Bunga memang kurang peka, atau memang sengaja. Melody segera menyembulkan sambutan yang hampir selalu terasa murah jika itu hasil buah aksinya. "Hai?" sapa Melody balik dengan antusias, senyumnya hangat mengembang tulus. Bahkan yang ia dapat dari temannya yang lain—Anesha—belum nampak sebebas itu. "Sini Wren! Kita duduk bareng. Asyik, 4 serangkai, dong, kita?"

***

"Wishi, gue ada project iklan di sini buat brand itu, lusa." Rona menunjukkan layar gawai pada Wishi, sesaat setelah Wishi duduk di sebelahnya.

Wishi mengangguk singkat, ia melempar pandangannya ke seluruh penjuru kelas, seakan mencari barang hilang diudara. "Iya. Kenapa, Na? Lo mau gue nawarin diri buat nemenin?"

Rona mengangkat bahu. "Gak pernah maksa, kok. Datang aja kalau lo mau." Rona meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja. "Kata manajer gue, lokasinya nyaman buat nyemil, pelayanannya hangat, sama gak pelit menu."

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang