23. Yell Ow! You'll gonna fly

182 82 9
                                        

"Apa para pengamat benar tak butuh tampil? Mengapa orang di atas panggung itu menyangkal keautentikkan diri? Sebenarnya di mana tempatku berdiri? Jangan biarkan aku mati kehausan eksplanasi."

***

"Ya, di mana? Saya sudah mengejar, jadi coba diam sebentar." Praja menghela napas, dia sudah rela memesan tiket luar kota untuk menemu Moya. Maksudnya, menyisakan sedikit porsi waktu khusus untuk Moya. Namun, Moya memberinya dinding seenak jidat untuk memenjara kehangatan Praja.

"Supaya?" Sahutan terdengar dari nada panggilan yang berlangsung.

"Agar saya bisa menyesuaikan ritme?" jawab Praja tanpa ragu sedikitpun.

"Gue gak bisa nunggu, Ja. Gue butuh terus memacu." Suara tekanan keyboard, Praja berpikir jernih bahwa Moya tengah menggarap.

"Kan, gak harus selalu, Ya. Lo butuh plot lain."

Dari seberang sana, Moya tersenyum tipis. Siapa Praja, berlagak ahli memberi saran mengenai caranya mempolarisasi? "Supaya apa? Supaya cabang tujuan gue berantakan, dan cuma jumlah minimal goal yang beres?"

"Tugas kapan buat kamu suntuk? Sejak dulu kamu terlalu menggebu-gebu. Mesin normal sudah aus kalau bekerja terus-terusan begini." Praja jadi teringat masa SMA mereka. Moya, kan, memang anak yang mati-matian mempertahankan predikat label anak teladan. Moya percaya itu membuat masa depannya mudah.

"Kabar baiknya gue baik, Ja. Gue gak bisa aus sebelum bikin mereka bangga." Setidaknya sinar Moya benar diakui sedikit, baru ia lega.

"Merekamu itu siapa-siapa?"

"Ada." jawab Moya sembari menghela napas panjang, "Orang ini, orang itu. Cluenya yang pasti bukan lo."

Bantahan sepihak Moya membuat Praja mengulum bibir, yah, membuat Moya mengakui ia boleh bergantung pada orang lain memang cukup simpang-siur. "Terus, kenapa sudah terprogram kalau saya membutuhkan kamu, Ya?"

"Banyak bug, tuh, di otak lo?"

Praja reflek memijat pelipisnya. Untuk kemudian lantas menggeleng. Pemakluman tentang bagaimana Moya mengajaknya bercanda. "Ingat kapan terakhir kali makan es krim?"

"Emang penting?"

"Lumayan. Mau buat survei aja. Terakhir kali 100 orang remaja akhir ngemil es krim," jelas Praja yang sebenarnya mendongeng.

"2 bulan yang lalu. Jangan gaptek, Ja. Sekarang ada internet. Bahkan ide lo yang masih ijo itu udah dipanen sama orang dibelahan dunia lain." Yah, Praja tidak sedang ingin mencerna jejalan kebenaran.

Praja menggangguk. "Ternyata bukan sugar-craving?"

Moya mengangkat alis, menghela napas cepat. "Ketagihan sama gula? Gila aja! Diabetes bisa ilang cepet gue, gimana nasib adek-adek?"

Kalau hilang memang sempat ingat? Hilang, kan, cara egois untuk memerangkap target tertentu ke sudut penyesalan. "Selama kerja kamu jarang ngemil? Kok betah?"

Moya menutup sambungan, setelah ia membalas beberapa argumen Praja dengan lugas. Pilihan Moya paling sering efisien tapi bukan berarti kondusif.

"Kak Moya ada titipan dari Kak Praja." Teri menyodorkan bingkisan, ini jam makan siang, seharusnya Moya hampir menuju warung makan terdekat. Namun, Moya tertahan di lobi setelah tangannya sudah penuh sekarang

"Kok titip, orangnya ke mana?" tanya Moya menyelidik, ia melirik Teri yang masih menenteng kotak wadah yang sepertinya berisi martabak telur. Sial, Moya benci bagaimana ia menghapal aromannya.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang