Kalau aku memang pecahan
dari orang-orang yang kutemui
topik-topik yang mereka usung;
selagi aku yang tinggal bungkam menelaah gelagat, menduga cara
kerja ide liar raga lain yang
otakku coba tangkap.
Pasti, aku tak pernah utuh:
selalu tercampurtangani,
bahkan terbarui dalam detik.
Pantas seringkali,
m e l u p a makna diri.
•••
Praja memasuki ruang karyawannya yang kebanyakan memilih untuk mengisi perut, memang tengah di waktu pemenuhan porsi energi. Praja tidak berpakaian mencolok, agar karyawannya bisa nyaman dan Praja tidak repot berbaur karena kekontrasan. "Sudah siap bannernya?"
Ini hampir banner ke 19 yang Anesha garap, mendengar suara yang tampaknya menanti gelombang balik, ia mendongak. "Hampir selesai, Pak."
Praja menaikkan alis, sebelum akhirnya melesat, berniat membereskan pekerjaan lain. "Saya tunggu."
Anesha mengangguk, meski ia tahu ditunggu berarti dirinya perlu memacu. Lagipula ia sudah mencetak 20 lembar banner dengan deadline event terdekat dan menyimpan mereka di tempat tepercaya.
"Bocah, dikiranya ini tempat paling aman sampai laci dibiarin kebuka?" Vela mendapati laci milik Anesha yang sepertinya tak mendapat cukup guyuran atensi si pemilik. Peluang kini terbuka lebar untuknya. Vela dapat leluasa mengobrak-abrik isi laci manusia songong itu. "Makasih, suguhannya." Ia tersenyum simpul selagi mengeluarkan kertas-kertas yang bertumpukan, mengecek beberapa kertas sekilas. "Oh, ini pekerjaan yang lo geluti?"
Vela mengambil korek api dari saku celananya dan menyulut tumpukan kertas di tangan lain. Membuat Yuka menggeleng setengah percaya dengan aksi gila sahabatnya. "Kamu gila? Membakar penguras keringatnya?" Yuka mengeryit heran, tindakan Vela lebih sering menempatkan dirinya pada potensi kekacauan juga.
"Aduh, Ka. Ini masih terlalu enteng, lagian dia, kan, dekat sama Praja. Masa sungkan ngajuin negosiasi?" Vela harap negosiasi yang berjalan tidak berlangsung baik. Lalu Praja kehabisan batas dalam memberi toleransi.
Yuka bungkam memperhatikan lembar kertas yang kini tinggal abu. Apa rasa iri Vela memang sebesar itu, hingga curang begini? "Aku tidak yakin dengan caramu, Vel."
Mendengar itu, Vela malah sekuat tenaga menahan tawanya agar tidak meledak. Tangan kanannya kebanyakan pesimis, kadang sikap Yuka yang ini menghibur Vela, meski kadang juga membuatnya repot. "Tapi lo lihat gimana mereka lenyap, seharusnya lo otomatis percaya, dong?"
"Wishi," sapa Vela disela-sela waktu istirahatnya, rasanya tidak cukup. Ia perlu segera menyingkirkan Anesha, karena Praja tidak banyak melimpahinya fokus: tak seorangpun boleh mendapat. "Gimana pemasaran?"
"Kak Vela? Pemasaran aman, kok." Wishi menjawab selagi menggulir tampilan layar pada laptop. Promosi lewat Medsos kebanyakan berujung pada impak menguntungkan. Wishi mematikan laptop, ia ingin membiarkan matanya napas. Terlebih Wishi sekarang tidak sedang mendekam diruangan itu sendiri. "Di depan sendiri? Masih banyak orang-orang ngeselin?"
Vela memanyunkan bibirnya, ia tampak berpikir sejenak. "Malah nambah."
Jawaban konyol tadi membuat Wishi tertawa ringan, keduanya mengobrol beberapa patah kata hingga seorang anak perempuan dengan rambut kecoklatan datang menginterupsi. Raut wajah Wishi hampir dipenuhi guratan tanya. Gadis dihadapannya cukup familiar dalam ingatan Wishi. "Eh, kenapa lo ke sini, Na?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Genç KurguAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
