Jangan memberi terlalu banyak,
sebab banyak penerima
sering tidak tahu diri; tidak mengenal
batas, serta kebas akan rasa puas.
-♡-
"Nih, minum air. Dehidrasi nanti lo." Setelah Anesha merasakan kedamaian sesaat, kini batang hidung Kasen kembali muncul. Dalam genggamannya terdapat satu kemasan air mineral yang disodorkan begitu saja dihadapan Anesha.
Dahi Anesha mengernyit, menurutnya, orang yang terlalu baik justru patut dicurigai, mengenai taktik seperti apa yang sebenarnya sedang mereka jalankan. "Kenapa lo peduli? Kita belum sedekat itu buat saling ngasih sesuatu," jelas Anesha sebelum akhirnya lebih memilih untuk mengedarkan pandangannya ke arah bunga-bunga taman.
"Iya, makanya harus hadapi levelnya satu-satu, mengenal itu perlu menyelam, kan? Supaya kita mengerti dan gak sekadar menjadikan yang ada dipermukaan sebagai patokan gimana kita menilai seseorang." Kini Kasen menyelaraskan pandangannya pada bunga yang mencuri atensi lawan bicaranya, bunga matahari yang tumbuh begitu menjulang. "Kayak setiap tindakan yang mereka ambil pasti punya alasan pendukung." Ah, Kasen berbicara seakan mudah sekali untuk menyimpulkan situasi dari banyak sudut pandang.
"Setiap orang yang lo temui bakal lo selami?" tanya Anesha benar-benar ingin tahu.
Hening menyeruak, bertengger dibahu keduanya, sebelum akhirnya Kasen menyahut. "Mungkin beberapa?"
Anesha menatap lawan bicaranya setengah niat, untuk kemudian menghela napas panjang. "Lo hobi mempersulit diri lo sendiri, ya? Padahal gak ada yang salah dari sekadar cukup tahu muka sama nama orang yang lo ajak kenalan."
Kasen kembali menahan tawanya begitu mendengar cetusan kenalan barunya yang cukup menggelitik. "Orang baru itu mirip lautan, Sha. Kalau kita nggak nyebur, gimana bisa tahu banyak hal yang disembunyikannya di pedalaman? Menurut lo sendiri, kenalan baru itu bakal lo kasih perumpamaan kayak gimana? Gue penasaran," ungkapnya sambil mendongakkan kepalanya ke langit, mungkin dalam hati memuji lega yang melekat pada langit.
"Saat lagi jabatan tangan buat kenalan, mereka ngasih 1 potongan puzzle, dipertemuan lain mereka bertindak suatu hal dan 1 potongan puzzle kembali gue terima. Setiap ketemu, kedepannya gue bakal dituntut mikir buat menyatukan potongan-potongan puzzle. Bahkan puzzle milik orang-orang lama aja masih banyak yang belum selesai, kenapa gue harus repot-repot balik ke siklus yang gak pernah ketemu batas?" Ah, apa pemikiran Anesha sendiri yang justru melebih-lebihkan hal yang sebenarnya tampak sederhana?
Kasen memejamkan matanya dan merebah pada posisi duduknya sejenak pada kursi taman. Ia mendengarkan dengan setia perspektif lawan bicaranya selagi angin yang berhembus menawarkan diri untuk membelainya. "Bukannya pasti potongan puzzlenya akan jadi satu kesatuan yang utuh, Sha?"
"Kenapa harus, sih, Sen? Kalaupun ada, orang paling terbuka di dunia sekalipun, mereka bakal menyimpan 1 potongan puzzle itu untuk dirinya sendiri. Siapa, sih, yang mau di baca terlalu mudah?" Jantung Anesha tiba-tiba berdegup kencang, suaranya bergetar meski sedikit lagi menyelesaikan kalimat pembelaannya. Siapa sangka, ia kini berani berdiri untuk mengokohkan keyakinannya.
Anesha menatap arah tiang bendera sekilas, langkah kakinya berniat ia kemudikan menuju tempat pengisian energi dengan mengandalkan poster letak lokasi ruangan sekolah yang tertempel di dekatnya. Ia mengenali atmosfer kantin hanya dari gurau tawa yang berkecamuk, serta tubuh-tubuh yang rela saling mendesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Teen FictionAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
