22. Endless Comedy Teater

178 85 17
                                        

Kopi mungkin penyelamat seseorang; sekaligus perusak. Candunya membuat wujud realisasi kenyataan buyar.

***

16 tahun-cukup chapter untuk Anesha. Namun, ketika ditanya apa yang diselami selama ini. Gadis itu pasti bungkam: kewalahan menyimpulkan. Sebab yang terbesit justru hal simpang-siur yang kewalahan menyerap gaetan atensi minim Anesha. Bagaimana momen-momen itu menyatukan fragmen miliknya.

Ia menyimpan sketchbook pada saku celana, kenarsistikkannya spontan padam begitu deretan bangku mulai terisi penuh. Menurut Anesha, sokongan untuk acara pensi ini lumayan rumit, padahal ia bukan orang depan. Berlagak merasa saja.

Padahal tidak semua dedikasi, berakhir dengan apresiasi. Faktor variasi intensi? Sifat natural manusia, kan, egois. Eh?

Layar latar belakang panggung teater menunjukkan suatu teks dengan font klasik. Sampai melihat visual, cukup membuat pikiran mengelana masa lampau.

Kampung Wokhad, 1800

"Aku menyukaimu." Tirai merah terbuka, Wren tersenyum simpul ke arah Wishi yang duduk pada batu.

"Tapi aku tak punya keuntungan untuk jatuh ke kamu. Jika cinta tak membuat kaya, hidupku akan sulit sejahtera. Aku ingin cinta yang pasti." Wishi menepis harap Wren tanpa usaha, ia memasang kerut dahi. Sesaat kemudian ia berjalan memunggungi Wren, turun pada sisi kanan panggung untuk mengganti costum mode kilat.

Wren mengangguk, selagi beberapa penari latar menarik baju adegan pertama. "Ah, aku baru suka."

"Tak salah lagi, dia potongan puzzle yang cocok!" Kini Wren berdiri di tengah panggung dengan antusiasmenya yang meluap. Lampu sorot mengajak Wren berdansa di pusat panggung.

"Apa kau tak punya cermin dirumah? Aku tak butuh puisi konyol, atau ekspresi pengharapan darimu. Aku hanya ingin satu wajah yang tak pernah membuatku bosan!" Wishi merobek tumpukan kertas yang Wren tekuni secara berlebihan.

Kini Wren menendang potongan kertas yang tercecer di tanah. "Sayang, dia tidak ingin bahasaku tersirat. Mungkin meminimalisasikan berpikir kritis?"

Wren kini di atas rumput hijau yang baru Tim properti siapkan. Sebagai pendukung tambahan, miniatur pohon juga ditambahkan di belakang Wren. "Sepertinya ada kagum yang membludak di sini, sedia menampung, Tuan?" Wren kembali membuka suara, selagi keduanya duduk pada bangku panjang.

Wishi menggeleng pelan, kali ini menerbitkan senyum yang sejak tadi rasanya mahal. "Nona, saya bukan orang yang tepat. Tolong cari pemuda lain."

Wren berpikir sejenak, ia duduk membelakangi Wishi sambil sibuk berbisik. "Dia kelihatan baik ... tapi yang baik malah menusuk kalau sedikit bertingkah."

Pandangan Wishi tertuju pada meja bundar yang menyangga Rona, Kira, Lika, dan Bunga. "Kau memang hobi duduk-duduk sendiri? Tidak rugi melewatkan jamuan teh teman sebayamu yang masih berlangsung?"

"Agaknya aku ingin mengemukakan sesuatu." Wren menggigit bibir. Ia tak yakin untuk berani, tapi dia juga tidak ingin terus menerus merengek kemungkinan.

"Apa? Apa kau berharap aku akan terkejut? Aku bisa bersiap," jawab Wishi dengan senyum simpul. Ah, scene ini terasa ringan sekali dibawakan olehnya. Wishi tampil lugu, seperti dugaan Anesha terkait opini Wishi tempo hari.

"Bagaimana jika aku suka denganmu?" Wren kenyang menatap rumput hijau yang subur, menanti sautan yang bisa saja menerkam.

Wishi mengeryit, ia menggangguk cepat. "Bagus! Aku juga. Sebagai teman, kan?"

"Memang masalah jika lebih?" tanya Wren, ia tampak ragu-ragu menyerahkan sapu tangan yang ia untai semalaman. Tetap saja ia membiarkan benda itu terkurung di saku gaun besarnya. Ia tidak ingin mengudara sebelum ada 2 penerimaan. Sebab tidak mungkin terjadi komitmen hanya dari 1 pihak yang merengek.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang