"Dirimu sendiri yang bilang ingin jadi orang sukses, jadi kamu harus terbiasa menggiring langkah kakimu jauh, dengan lebih banyak tersandung,"
- Deon Randezo
Aku ingin bersembunyi dari rasa takut, ragu, dan gelisah. Namun, sepertinya mereka akan setia mengejar, satu-satunya jalan hanya berbalik badan dan lawan!
________
HAPPY READING, GUYS❤️
_______
"Nenek tadi sempat jalan-jalan di sini, Nak." jelas si Nenek yang menunjukkan raut wajah gelisah, tangannya gemetar karena kehilangan barangnya.
Setelah turun dari sepeda, aku segera mengalihkan pandangan pada aspal sepanjang jalan gang sempit ini, mencoba mencari benda yang dimaksud. Dila membuntutiku sambil mendengus.
"Lo kelihatan gak senang, Dil?" tanyaku begitu mendapatinya terus menggerutu.
"Ya lo sih, Sha! Ikut campur urusan orang lain, di saat kita sendiri lagi kena masalah!"
Beberapa saat yang lalu, kami mendapati Nenek ini melambaikan tangannya dan berteriak dengan suara seadanya dari sisi jalan, untuk membuat barang 1 saja orang berhenti. Mereka hanya berlalu-lalang mengabaikan, atau hanya geleng-geleng sambil angkat tangan dan terus melanjutkan perjalanan.
Peristiwa itu membuat kayuhanku terhenti, alasannya? Karena jika kita mampu membantu, kenapa harus orang lain?
Aku menghampiri Nenek tadi yang terduduk pada batuan didekat kami. "Apa Anda ingat bagaimana rupa cincin yang hilang lebih spesifik lagi, Nek?"
si Nenek tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya raut mukanya jadi lebih bersemangat. "Bentuknya bunga berkelopak enam, Nak!" jawab si Nenek dengan senyum hangatnya.
"Pusatnya punya ukuran permata yang lebih besar, dibanding dengan permata yang dilekatkan ke masing-masing bagian kelopak bunga tadi."
Aku mengangguk dan kembali menyusuri tanah-tanah sekitaran sini, menyingkap dedaunan. Dila juga membantu, bahkan menyingkap semak-semak dengan sigap, anak itu kan memang tidak pernah bersikap berlebihan jika dihadapkan dengan ulat.
Aku berjongkok untuk kembali menyusuri, tapi tidak ada hasil. Saat aku berbalik badan, sekitar 1 meter di depanku, Dila juga duduk berjongkok, membelakangiku, sebelum selang beberapa saat ia ikut membalikkan badan.
Kuhela napas panjang, dia menggelengkan kepalanya sambil menunjukkan kedua tangannya yang tidak terdapat apa-apa.
"Mau lomba lompat katak gak, Sha?" tawarnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya, yang langsung kutepis dengan berdiri.
"Nek, sebenarnya cincin Nenek itu perak atau emas?" tanya Dila ikut bangkit.
"Emas, Nak."
"Pantas saja, itu akan mudah tersamarkan oleh warna tanah disekitar sini, Nek. Tapi Nenek tenangkan diri saja, saya akan mencoba mencari lagi!" ujarku sambil mengepalkan tangan keatas, Nenek itu membalasnya dengan anggukan dan senyuman tipis, ia terduduk dengan tongkat kayu yang digenggam erat-erat.
"Sha!? Gila ya lo? Kita bisa telat dan dihukum, kalau gak cepat-cepat ngayuh lagi!"
"Kalau gitu, lo pakai aja sepeda gue gih. Biar gue nyusul jalan kaki nanti, lagian udah dekat juga kan? Setengah perjalanan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Teen FictionAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
