Kita tidak sedang dipacu,
kenapa selalu terburu-buru?
18 Juli 2006 adalah ketika Anesha ditentukan menjadi anggota bagian dari titik bernama bumi. Anesha tak mengerti apa yang ditawarkan padanya kala itu, hingga mengiyakan untuk mengambil jejak, menopang tegak. Seharusnya dirinya sudah banyak mengenal, karena usianya sudah hampir dua windu. Kenyataannya ia justru tetap merasa seolah-olah menjadi pendatang baru. Dunia selalu bergerak, dan Anesha tak sempat mengingat letak.
"Ayah, apa saat Ibu sedang melahirkanku, Ayah menemaninya?" tanya Anesha tiba-tiba, ia berniat memastikan kalau saja Ayahnya justru sibuk bekerja di sawah hingga tidak mengetahui proses kelahiran anaknya sendiri. Tidak lucu, maniak kerja.
Ayah Anesha-Saga-terkesiap sejenak, meski anak bungsunya memang yang paling sering mengajaknya mengobrol ketimbang anaknya yang lain, pada banyak kasus, ia dibuat kesulitan untuk membaca topik seperti apa yang akan anak bungsunya usung. "Iya, banyak tetangga juga yang datang melihat, dan kamu tahu cerita unik dibalik kelahiran kamu?"
Anesha meneguk kopinya yang masih hangat pagi ini, dengan hawa dingin yang masih menyeruak bebas, ia tak habis pikir pada Ayahnya yang sempat-sempatnya menawarkan diri untuk memberinya pelumas pada kinerja otak. Setelah merasa ia tidak tergiur untuk mulai mengendus jawaban teka-teki, Anesha menimpali. "Apa?"
Pak Saga tiba-tiba meledakkan gelak tawanya, dahi Anesha dibuat mengernyit sebab tidak mengerti tujuan gelakan ayahnya menggema. "Kamu gak sabar buat lihat kita, Sha!"
Tidak sabar keluar ... bagaimana? Setahu Anesha ia tidak pernah terlahir dengan kemampuan telepati. Mungkin menggiurkan jika dapat bertukar kabar dengan dunia luar, setidaknya Anesha mengurungkan niatnya untuk keluar. "Maksud Ayah?"
"Bu Bidan yang Ayah panggil belum sampai, tapi kamu sudah keluar duluan," jelas Ayah Anesha singkat.
"Itu berarti kerja sama aku dan Ibu terkoordinasi, Yah!" celutuk Anesha tersenyum penuh kemenangan, Pak Saga hanya mengangguk sambil tersenyum hangat.
"Ayah, kenapa namaku Anesha Badra dan tidak yang lain saja? Apa nenek atau kakek juga berkontribusi dalam memberi satu kata dalam namaku? Soalnya, teman-teman banyak yang begitu." Pertanyaan beruntun itu berhasil mengawang. Membuat kewalahan yang ditanyai.
Saga menyeduh kembali kopi hitamnya yang hampir habis, ia tersentak dengan fakta ia kalah dalam hal meneguk kopi dibanding anak bungsunya. Ditatapnya cangkir milik Anesha yang sudah kosong dengan senyuman simpul. Saga sibuk mengobrak-abrik kepingan memori yang sudah tersimpan pada kotak-kotak yang telah dia kelompokkan sendiri di isi kepalanya. "Ayah juga tidak tahu maknanya. Kamu tanya saja pada Paman Jagur. Dia yang memberi nama, padahal Ayah sudah lebih dulu menamai kamu."
Pembeberan itu membuat Anesha tertegun, ah, padahal selama ini ia begitu berbangga diri menjunjung nama yang ia kira pilihan yang jika tidak Ayah pasti Ibu.
Seharusnya Anesha masih terjebak, tetap terperangah. Tapi ia menepis, ia ingin mengulik yang menggelitiknya sendiri. "Siapa nama yang sudah Ayah siapkan?"
"Palagan."
"Kenapa Ayah mau-" Ucapan Anesha terpotong, Pak Saga ingin menjejalinya informasi lain.
"Ayah kira kamu itu laki-laki. Ibu kamu pernah bermimpi kalau dia mengandung anak laki-laki saat kamu anteng di sana, Sha." Anesha tersenyum getir dalam senyap, di dalam sana seperti ada yang tersengat dan itu membuat tubuhnya membeku.
Ia mendengar suara tawa Ayahnya. Namun, suara itu mulai terlahap hening. Tiba-tiba beberapa suara yang hanya dapat ia dengar merutukinya: Mengapa kamu tidak terlahir sebagai anak laki-laki saja? Mengapa menolak untuk menghadiahkan mereka hal paling sederhana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Fiksi RemajaAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
