Tempat penuh gemuruh-isi pikiranmu
itu berhak mencicip damai. Namun, bagaimana bisa gema-gema pertanyaan yang berlangsung di sana, membuat redam gentar untuk sekadar menyebar?
-♡-
Banyak orang iri pada orang yang berada di panggung. Padahal saat panggung membutuhkan pengisi, langkah mereka mendadak terlekat pada tanah yang dijejaki. Mereka menawarkan diri untuk menjadi sekadar penonton yang menyokong. Di sela-sela menikmati pagelaran, iri yang sebagian penonton paksa samarkan kambuh, ia hinggap pada kedua bahu pengiri untuk mencengkeramnya kuat hingga kesulitan mendongak.
Iri membisiki sebagian penonton cemooh: teruslah menolak untuk mengajukan diri selagi lampu belum menghujami sinar gemerlap pada orang yang bersedia menahan serbuan fokus ketakberhinggaan pasang mata yang hadir dengan lapar. Teruslah gemetar, kabur, dan mengalihkan sorot meski sudah masuk giliranmu.
"Jadi, kita punya dua kandidat untuk sekertaris, Felo dan Melody," jelas Dillon sambil menuliskan kedua nama kandidat pada papan tulis. Lantas pandangannya tertuju kepada teman-temannya yang duduk di bangku tanpa gentar. "Mungkin masih ada yang mau mengandidatkan teman atau diri sendiri?" Seisi ruang senyap, membuat Dillon menggangguk. Padahal tidak semua diam berarti bersedia lapang dada menerima.
Pak Faro yang duduk pada bangkunya tersenyum simpul, pengamat ulung yang hanya bergerak jika suasana mendukung. "Ayo, Nak. Masa di tawari panggung, kok, dibiarkan terabai," timpal Pak Faro dengan bujuk terselubung.
Tiba-tiba Olethea berseru dengan cengiran andalannya. "Ka-Kasen! Pak!"
Menyadari namanya disebut, raut wajah Kasen justru terlihat tidak gusar sama sekali. Ia mengangguk sebelum akhirnya menguap. Menyadari hampir seisi kelas menghujami atensi padanya, ia membuyarkan keheningan. "Silakan diteruskan, yang lain juga udah pada nunggu, kan?" ungkap Kasen sebelum akhirnya memberi anggukan singkat pada Dillon, tanda persetujuan namanya ditulis dalam daftar kandidat.
Sebagian siswa yang sibuk dengan gawainya dibuat mendongakkan kepala sesaat, sebelum akhirnya kembali membenamkan diri pada kesibukkan masing-masing. Mereka kira telinganya akan terjejali oleh debat pembelaan diri, justru senyap. Jarang ketika sebagian datang hanya untuk menyederhanakan yang rumit, atau sekadar mempersingkat yang dirasa akan terasa panjang.
"Buat voting, saya minta kerja samanya, ya, Guys? Kalian cukup menyediakan satu lembar kertas sobekan dari buku kalian, fungsinya buat dijadikan alat perantara pemungutan suara," jelas Dillon dengan gagasannya.
"Lah, ini nggak lagi nyoblos, kan?" tanya Olethea yang meskipun dengan nada hampir samar. Namun, tetap terdengar nyaring, sebab ruangan didominasi keheningan.
Kasen menyahut, rasanya aneh ketika harus membiarkan yang lain merasa suaranya tidak terdengar. "Anggap aja gladi bersih, Mbak Teh, bentar lagi juga kita giliran nyoblos capres-cawapres, kan?"
"Tapi hari ini gue lagi gak bawa buku tulis, gue kira belum ada pelajaran yang mengharuskan kita nulis," sahut anak perempuan yang duduk pada bangku deretan ketiga yang kemudian meminta izin pada Pak Faro untuk melenggang ke koperasi. Tak lama kemudian Kasen ikut menyusul, karena ternyata dirinya juga tidak membawa buku tulis.
"Bagi kertas sobekan, dong!" seru seorang anak perempuan yang kini baru meletakkan gawainya dengan bantingan.
Di sampingnya duduk seorang anak perempuan lain, dengan cermin di tangan. "Gue juga sekalian. Mulut lo berisik banget, ya? Gerak sana." Anak perempuan berambut sepundak yang bergelombang memberi perintah dengan nada tenang, justru terdengar cukup mengintimidasi untuk Kira-teman sebangkunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Teen FictionAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
