19. Surealisme

159 85 12
                                        

I made decisions,
mostly suspicions.

•••

Pada beberapa momen yang teradang, Anesha kebanyakan jatuh hati pada seseorang yang mampu menghargai kesendirian. Ia penasaran pada apa yang rumit dibalik diam milik mereka. Orang aneh, padahal bungkam tidak pernah menarik. Sebab, tak cukup nyali berniat menggapai sorot, pengecut.

Kadang para pengecut justru mereka yang banyak menyimpan taktik, pengecut malah mereka dengan akar yang menelusuk dasar yang kiranya tak pernah selera orang waras jamah. Bukan, nanti para pengecut bisa besar kepala. Menurut Anesha dirinya masih seorang pengecut, ia lugu tapi berlagak tahu. Ia berupaya mendongeng bijak, selagi isi pikirannya jarang tertata. Ah, semua orang berlagak. Mereka takut penilaian yang lain terhadap dirinya. Padahal manusia terlanjur sibuk dengan rutinitas yang mustahil mirip.

"Ngapain? Nulis?" Dillon meneliti wajah lawan bicaranya. Agak aneh, Dillon bahkan tak pernah sekalipun mendapati wajah Anesha dapat seserius itu ketika tersuguhi pelajaran fisika. Namun, kali ini, lihat! Tersisa jua kegiatan yang berhasil menggaet atensi Anesha? Gadis tanpa rencana yang lebih sering membuat Dillon teriritasi ini, benar membuat Dillon terusik dengan tindak-tanduknya.

Dengan pameran helaan napas, Anesha menghentikan ketikan pada ponselnya, buyar sudah ketentraman yang ia bujuk untuk rangkul.

"Kayak gimana suara lo? Palingan terkesan menggurui. Gitu aja sampai belum habis baca, pembaca muak duluan." Dillon meledek setengah puas. Mungkin karena Anesha memahalkan tampang tersinggung?

Opini Dillon terdengar cukup masuk akal bagi Anesha. Tapi, kan, tulisan sendi pemilih siapa yang layak dijadikan pembaca. Selalu butuh kadar tinggi empati, atau sekadar singgungan perspektif.

Anesha tersenyum kecut, setidaknya konotasi milik tiap individu pasti kaya variasi. "Duh, jadi guru berarti menata orang, Del. Minat gue yang ini udah luntur kemakan waktu. Tenang ... gue nulis biar lebih paham diri, kok. Itu aja." Anesha menutup gawainya, ia keluar ruangan tanpa mengoceh lagi.

"Yakin?" tanya Dillon yang sialnya malah membuntuti Anesha. Dillon paling senang menangkap brakilogi dari orang yang mendongeng. Aneh. Namun jika Anesha, Dillon malah gencar memancing Anesha agar melupa lugas. "Lo percaya kalau buku bisa ngubah karakter orang?"

Mendesain kembali karakter? Bukannya itu topik rumit? Dillon punya porsi atensi untuk ini? Agak di luar dugaan, Anesha pikir, Dillon cukup peduli cara tercepat untuk lari. "Tergantung bukunya, tapi kayaknya iya. Paham 1 buku, kan, berarti mengenal perspektif baru. Besar kemungkinan komponen diri malah menyesuaikan, meski buku bacaan bukan resep buat bangun persona." Anesha menghela napas. "Apa mungkin bagi lo?"

"Kalau terus baca tanpa aksi nyata, terus apa?" Kini Dillon berjalan menyamai langkah Anesha, jalan gadis itu terlalu cepat, membuat orang yang berniat menyelaraskan derap hilang selera. Dillon memang terbayang pada tujuannya untuk berada di garis terdepan, tapi bukan berarti ia terus mengacu. "Impaknya nihil, Sha." Dillon dapat menangkap senyum tipis yang tak cukup Anesha sembunyikan kadar samarnya. Padahal Dillon sedang menakuti Anesha yang belum punya destinasi hidup ideal. Pencapaian. Ah, jarang pernyataan Dillon konyol. "Bukan buku-buku yang pernah kita baca yang ngerubah karakter kita. Tapi karena kita mau? Kita sadar kalau kita punya kendali." Dillon kembali menyadarkan diri dari bumbungan imaji yang sempat mengerubung. "Kenapa juga kita memutuskan buat berubah?" Bukannya imaji itu hanya menggerus waktu? Aksi nyata Dillon bisa terbengkalai jika Dillon hanya sekadar berangan. Jadi, Dillon kebanyakan menghindari melamun.

"Karena kita bosan?" jawab Anesha sekenanya. Padahal di isi pikirannya Anesha baru saja mengakhiri debat kecilnya. Tapi lebih baik, kan, riuh disederhanakan. Tidak semuanya punya waktu untuk menelan.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang