Superhero tak menolak jadwal libur.
Apalagi kau, sepantasnya manusia biasa-robek kulit teradu mesin.
Yang kehadirannya kabur merata.
Tampil menjeda,
tak seorangpun benar merasa.
Dasar penyempal amatir.
Pikirmu: besok mereka
amnesia, pada karya
tanganmu yang masih hangat?
Mereka hanya butuh
sedikit detik untuk lupa
dan menjadi tuli akan detak
pengorbananmu, Imbesil.
• Selamat Memakna,
Raga Pengelana •
Selesai Kasen mengisi biodata model remaja, ia menangkap ayahnya yang duduk tak jauh darinya. Mendampinginya setia meski kerjanya akan tertunda. Kasen memperhatikan calon peserta lain ketika berpapasan, mereka selalu lebih proporsional darinya, nyalinya yang tidak seberapa makin menciut. Anak perempuan bahkan membalap tingginya. Hah, Ayahnya seharusnya menyeret lengannya pulang sejak tadi.
Ia menghampiri ayahnya-Pak Dev-yang tumben tidak mengenakan jam tangan kesayangannya. "Mungkin Ayah lupa jamnya," batin Kasen dengan anggukan ringan. "Ayah langsung lanjut ngantor, kan? Nggak apa-apa, Kasen bakal pesan ojek."
Pak Dev yang sejak tadi sibuk bicara dengan teman baru kilatnya kini menyudahi obrolan. Pria itu menggeleng pelan sembari mengernyit. "Duh, gak kangen Ayahmu sekarang? Rugi, dong, Ayah ambil cuti? Yakin gak mampir ke kafe dulu? Atau jalan ke mana?" Yah, akhirnya Dev juga ingin sedikit tampil di depan anak semata wayangnya itu. Dev mengecek sekilas ponsel, sebelum akhirnya mendongak. "Mama ngabarin lagi buat menu kesukaan kamu, tuh. Nunggu bentar di kafe gimana, Sen? Sekalian bawain Mama pastri favoritnya?"
Kasen mengangguk cepat, ah, ia hampir hapal cara Mamanya membujuk. Menyajikan menu yang tidak pernah bisa Kasen tolak. Syaratnya cukup pemberian anggukan pada instruksi keduanya. "Boleh, Yah," imbuh Kasen sambil membuntuti langkah Pak Dav menuju area parkir, "kayak Ayah masih ingat aja yang mana yang Mama suka? Ayah, kan, keseringan beli martabak." Kasen tertawa sendiri, eh, apa Ayahnya tidak mengerti benar caranya melawak?Ia jadi masuk mobil dengan sedikit kikuk.
Lihat Dev, Kasen dewasa ini bahkan berani meledek dirinya yang berlagak. Apa salah ketika otak Pak Dev sudah suntuk rutinitas pekerjaan, ia enggan menekan tombol terkait opsi mana yang kelihatan lebih cocok? Setidaknya keegoisan Dev memberi celah untuk Kasen menyulut api, anaknya tidak pernah menjadi tumpuan dekorasi pengharapan keduanya yang tidak sampai. Pak Dev bungkam mengamati pergerakan awan dari dalam mobil. Niat memperbaiki seharusnya tidak pernah terlambat, toh? "Sekolahmu, Sen?"
Lamunan Kasen yang sejak tadi terpaku ke arah jalan kini beralih pandang pada kursi depan, di mana Ayahnya duduk di sebelah Pak Supir yang fokus. Kasen tersenyum tipis, Ayahnya benar akan bertanya dengan kalimat yang belum selesai begitu? Pak Dev menciptakan permainan sambung kata? "Lumayan. Kerjaan Ayah sendiri? Aman-aman aja?"
"Kalau itu, Ayah selalu usahain, Sen." Dev menghela napas panjang, matanya menyisir jalan yang agak muak dirinya pandangi. Ia bahkan kenyang mengenal daun yang tercecer di jalan ketimbang rupa sang Anak.
"Udah lama Ayah gak ke Kafe Nek Len. Ayah pengen tahu kabar Megar," ungkap Dev sembari melepas dari yang memenjarakan kebebasannya. Ia juga ingin meletakkan sejenak formalitas yang lain hari perlu terlekat.
Kasen mendengar Ayahnya yang setengah niat membagi kisah. Apa yang dapat ditangkap dari nada serendah itu? Dan lagi, Megar? Bukan pertama kali Kasen mendengar nama itu, mungkin itu adalah kenalan Ayah yang relavan? Tapi putus kontak. Apa Kasen perlu mendoakan reuni seseorang sekarang? Sebab, menyedihkan sekali, Ayahnya sempat mengingat sahabat yang lupa bagaimana suaranya terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Ficção AdolescenteAnesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
