Anesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Semuanya akan sampai pada level kenangan, tak peduli seberapa buruk dan berharga momen itu,"
- Anesha Badra
Jangan bersedih terlarut-larut, dirimu di masa depan akan menertawakanmu—sebab bodohnya kamu yang terjaga setiap malam, hanya untuk menangisi hal-hal yang tak perlu.
HAPPY READING, GUYS! ______
Setelah kami mendengarkan setengah dari pengarahan Ibu Ketua Komite Sekolah, aku dapat menyimpulkan: bahwa muda berarti berani berkarya, berani bersuara, muda adalah tentang menerjang arus, bukan hanya pasrah tergerus, muda adalah tentang menata masa depan. Masa muda adalah ketika kita memutuskan akan hidup dengan dikendalikan atau lepas kendali—sebab menerobos.
Staf sekolah menghadirkan kanvas besar ditengah-tengah lapangan, Ibu Ketua Komite mulai membuat kuasnya menari lincah dengan jemarinya. Kira-kira apa yang tengah dia lukis? Hingga membuat Pangeran yang berdiri di barisan depan itu, tak henti-hentinya tersenyum? Lagipula, aku tak seharusnya menangkap ekspresi anak itu, hanya karena ia terlihat paling mencolok, kan?
"Nak, banyak hal didunia ini yang tidak cukup dinilai kebenarannya hanya karena kelihatannya, katanya, maupun sepertinya. Kita perlu menyelam lebih dalam, supaya tidak hanya menduga. Tapi juga mengerti apa itu fakta sebenarnya, dan bagaimana kepastiannya." tutur si Nenek yang membuat sebagian siswa-siswi di lapangan mengerutkan kening mereka dalam-dalam, ada yang mengangguk, dan sebagian lagi memaksakan senyuman meski terlihat kurang mengerti.
si Nenek yang ternyata seorang Pelukis ketika muda itu menunjukkan tangan-tangannya yang terbalut oleh warna-warna acak cat air itu kepada kami.
"Bagaimana kalian memandang tangan Nenek, Nak? Angkat tangan kalian jika kalian melihat tangan Nenek kotor."
Beberapa anak mulai mengangkat tangan mereka dengan ragu-ragu, tetapi si Nenek meyakinkan dengan anggukan dan senyuman hangatnya. Akhirnya hampir sebagian besar anak di lapangan mengangkat tangan mereka, Evan tetap pada sikap hormatnya. Kini kudapati Dila ikut mengangkat tangannya.
"Lumayan, Sha. Peregangan, lo gak mau ambil?" tanya Dila.
Kini si Nenek mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan, mengapa masih dapat tersenyum? Saat mengetahui bahwa cara kerja bidang yang dia tekuni, tidak dimengerti dengan cukup baik oleh kami?
"Untuk kalian yang tidak mengangkat tangan, sebenarnya apa yang membuat kalian memilih pernyataan lain? Kalau tidak kotor, lantas dinamakan apa hal acak yang tidak berbentuk ini?" tanya si Nenek yang membuat beberapa dari kami saling melempar pandangan bertanya-tanya.