"Berjuang lebih jadi wajib, saat kita ingin dapat sesuatu yang lebih besar, jauh dari kata umum."
- Anesha Badra
°♡°
Setelah tepuk tangan yang menggema pada seluruh penjuru lapangan reda, Ibu Ketua Komite menanyakan siapa salah satu dari kami yang bernama Anesha. Aku yang masih tertegun, mulai menyadari bahwa Dila sejak tadi sudah sigap membuat gerakan tangan yang menjawab pertanyaan Ibu Ketua Komite.
"Dia, Ne—eh? Ralat, Anesha itu yang ini, Bu!" sahut Dila mengembangkan senyumnya.
"Silakan panggil senyamannya saja, Nak. Saya tidak bisa mengelak pada apa yang memang ada di diri saya." tutur si Nenek dengan senyum hangatnya
Asisten Ibu Ketua Komite menghampiri Ibu Ketua Komite dengan memegang sebuah dasi, ia menggunakan sarung tangan hitam dan menyemprotkan parfum di sana. si Nenek mengambil alih dasi itu dan menyuruhku untuk mendekat.
"Kemari, Nak Anesha. Apa kau lupa dengan apa yang pernah menjadi milikmu?"
si Nenek mulai memasangkan dasi itu padaku dengan gerakan yang begitu hati-hati, aku mengerutkan keningku. "Saya bisa melakukannya sendiri, Bu." ujarku sambil mencoba merapikan tatanan dasi milikku yang kembali.
"Kali ini, biarkan saya yang melakukannya." tegasnya
Aku menghela napas berat, sebelum pada akhirnya mengangguk. Padahal diluar sana, ada banyak sekali kebaikan dalam senyap, yang pelakunya tetap bisa merasa damai meski kebaikannya tidak terungkap.
"Buru-buru membuatmu lupa apa yang ada didirimu lengkap atau tidak, bukan begitu, Nak Anesha? Lain kali coba periksa sekali lagi, mengabaikan fakta penting itu bisa jadi hal merepotkan dikemudian hari, Nak." tuturnya yang berhasil membuatku menyunggingkan senyuman tipis.
Lalu bagaimana dengan mereka yang dipaksa terburu-buru mengenal siapa mereka? Bahwa akhirnya mereka hanya menemui kehampaan yang menetap pada diri. Mengapa kamu adalah kamu? Apa yang membuatmu dinamakan kamu? Apa kamu sudah menemukan apa yang kau cari?
"Tidak semua hilang berakhir benar-benar lenyap. Bukankah lebih baik jika kita bisa lebih fokus pada apa yang melekat dalam diri kita sendiri, dibanding terus mencari di mana bagian yang hilang itu?" sangkalku.
***
"
Siapa yang disini suka menulis?" tanya si Nenek
Pastinya selain menulis yang berkaitan dengan pelajaran sekolah. Itu membuatku bertanya-tanya; mengapa kita menulis? Kemudian muncul suara di isi pikiran; Karena ingin merasa didengar, ditengah dunia yang sibuk dipenuhi hingar-bingar.
Tidak ada selusin dari kami yang berdiri di lapangan yang mengangkat tangan, aku memutuskan untuk mengangkat tangan, pandanganku mendapati Adelio dan Ieon menyusul pula.Ibu Ketua Komite berjalan menuju Ieon, menanyakan perihal apa yang membuat Ieon suka menulis, dan bagaimana dia mengartikan 'menulis'. Ieon hanya melempar senyuman hangatnya, dan mengemukakan jawaban dari pemikirannya yang sederhana.
"Saya hobi menulis untuk sebuah lagu, karena menjelajah emosi rasanya seperti membangun perantara antara diri saya yang lalu, sekarang, dan yang masih menjadi misteri didepan sekaligus! Seperti mengukir kenang untuk anak cucu? Bagi saya, menulis sebuah buku adalah pekerjaan yang cukup berat dan ajaib! Mengapa? Mereka membangun gerbang tempat kebahagiaan ada, mengabadikan pemikiran, menjaga semuanya tetap konsisten dan masuk akal dalam jangka waktu tertentu." jelas Ieon
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Tienerfictie"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...