14. Elusif Semu

211 113 23
                                        

Seharusnya saat masih jatuh

s e t e t e s ,

kau menepisnya,
bukan menikmati danaunya,
lalu berlagak terjun ketika lautan terbentuk. Mereka menyamar tenang,
menyeretmu ke pedalaman.

┗━━━━ ° ⌜ Selamat Menyelam! ⌟ ° ━━━━┛


"Emang lo pernah ngerasa buas, bahkan dengan fungsi perasaan yang terprogram di lo, sejak kapan kita nyangkal gak sepeduli itu tentang persepsi orang terkait kita?" Anesha berjinjit untuk mengambil buku di rak atas, lalu membaca sekilas huruf-huruf yang mendekam di sana.

"Gue gak merasa butuh, Sha. Persepsi orang lain biar mereka urus sendiri. Kenapa gak maju aja, dan tinggal lihat sampai kapan mereka bisa beranggapan dengan ocehan panjang, selagi cuma ngintip secuil kalimat dari keseluruhan buku lo? Bahkan mungkin cukup satu kata." Yah, kebetulan sedang mengajak Anesha bercanda. Bertepatan dengan kalimat terakhir yang Dillon singgung, kalimat pada buku yang sejak tadi ia jejalahi, berhenti pada kata 'picik'. Seakan berlapang dada membenarkan ucapan Dillon yang tak berdasar.

Dillon yang telah memeluk 2 buah buku tebal, kembali menyuguhi tangannya 1 buah buku lagi. "Tapi mereka paku itu dingatan supaya diri mereka kenyang. Ini, orang di bawah gue. Padahal orang yang dianggap bawah justru mulai berubah, setara, lebih tinggi, tinggi lagi. Lupa kalau mereka masih perlu naikkin kualitas diri, bukan cuma menghibur diri langsung lega.
Mana dorongan buat jadi lebih?"

Anesha tersenyum getir. "Selalu lebih, Lon? Kalau capek gimana?"

"Capek, atau males?" Dillon melempar tatapan penuh selidik.

Anesha menggeleng, orang dihadapannya memang maniak kerja. Bukannya itu berarti Dillon tak perlu menghabiskan secara percuma waktu berharga miliknya, untuk merecoki damai hari Anesha? "Lebih. Terus lebih menurut lo sampai mana ujungnya?"

Mulut Dillon mendadak bungkam, berat saat hendak diangkat. Ketika ingin menguraikan, semua yang berada di kepalanya justru menjadi kusut. Saat keduanya memutuskan untuk kembali ke kelas. Di tengah perjalanan, Dillon menepis keraguannya dalam berpendapat, dikerahkannya sisa energinya untuk menyediakan gubrisan. Setidaknya, ia tak ingin kalah telak. Kalah selalu berarti lemah. Ia tak sudi terlihat lemah. "Sampai gue ngerasa yakin kalau hidup gue aman sekaligus nyaman," jawab Dillon dengan suara sedikit bergetar. Lawan bicaranya menghadiahi anggukan dan senyum tipis.

Karena setelah jawaban itu gadis dihadapannya benar-benar tidak berniat mengusik hening, biarlah Dillon berinisiatif. Kalau tidak dia yang maju dulu, apa akan ada perubahan? "Tujuan hidup lo apa, sih, Sha?"

Topik yang Dillon kemukakan kali ini berhasil membuat Anesha termangu, akal sehatnya mendadak mengembara, tertinggal sendiri membuatnya tak paham bagian mana yang menjadi tujuan pasti. "Mati muda?"

Plak!

Pipi Anesha mendadak terasa panas, bibirnya malah seperti tersengat. Sedang dihadapannya Dillon tampak memegangi tangannya yang dengan sembrononya ia layangkan tadi, mereka terlihat bergetar. "Gue gak tau, Sha," ujar Dillon yang lebih mirip berbisik, ia sendiri tak tahu-menahu kemana suaranya pergi. Akhirnya setelah mengambil beberapa dehaman, suaranya kembali. "Tapi tangan gue kayak ada yang nggerakin!" Baru kali ini Dillon terang-terangan meluncurkan ketakutannya di hadapan Anesha. Wah! Pasti dendam Dillon yang menggerakkan.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang