Bagian 42

1.9K 224 33
                                    

"Membalas akan mebuatmu sejajar dengan musuhmu. Tapi mengampuninya, akan menempatkanmu di atas musuhmu."

- Sri Sultan Hamengkubuwono VIII

                                  ⚓

Tali yang mengikat napasku sedari tadi, seketika terasa lepas dan helaan napasku pun menguar begitu lega setelah kedatangannya. Penantianku bersama tiga orang prajurit ini membuatku jenuh dan aku merasa sangat tidak nyaman. Mereka terus saja berbincang dengan suara berbisik ketika aku tidak melihatnya, sembari menatapku terus-terusan secara bergantian. Walau mereka pikir aku tidak mengetahuinya—aku dapat memastikan bahwa hal tersebut adalah salah. Ini lah gunanya manusia memiliki ekor mata dan juga telinga yang harus selalu dipastikan bersih.

Dan kehadiran Adam disaat-saat seperti ini membuat diriku terdoktrin secara spontan bahwa ialah penyelamat yang membebaskanku dari kecanggungan barusan.

Setelah ia mengangguk pada tiga orang tersebut, dirinya segera menarik pergelanganku dengan lembut, agar menjauh dari peredaran mereka. "Ayo. Sudah lama ya?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng, seraya mengikutinya di sisi samping kanan—belakang dirinya yang terus memegang pergelanganku.

"Memangnya mau kemana malam-malam begini?" seraya memegang pergelanganku, ia bertanya sekali lagi. Tapi matanya tak menghadap kepadaku barang sedikit saja, walau aku terus menghadap kepadanya.

"Dam—"

"Mending kita balik aja ya, Rin. Takutnya kamu kenapa-kenapa nanti," ia memotong perkataanku dengan tiba-tiba.

"Nggapapa kok, aku—"

"Mobil kamu dimana?" ia terus saja menginterupsi perkataanku tanpa memedulikan apa yang akan kukatakan hingga rasanya aku begitu muak. Aku telah membuat diriku menyempatkan waktu dalam kondisi yang seharusnya tidak memungkinkan, hanya untuk mengatakan yang sejujurnya apa isi hatiku sebelum semuanya kembali berubah.

Namun, apa yang dia lakukan saat ini—adalah hal paling menjengkelkan dan tidak aku harapkan untuk saat ini. Aku hanya butuh sedikit dari waktunya untuk mendengarkan keluh dan gembiraku sekarang ini. Tapi ia bahkan menyuruhku untuk pulang dan kembali ke rumah, seperti ia sama sekali tak ingin bertemu denganku dan cepat-cepat ingin mengenyahkanku dari hadapannya.

Aku sempat berpikir, apakah peluru kemarin juga sudah memberikan pengaruh terhadap otaknya hingga ia bisa bersikap tidak sopan dan tidak seperti biasanya kepadaku?

Aku begitu ingin meledak hingga aku menarik tanganku paksa dari genggamannya dengan begitu kasar sampai-sampai ia menoleh kepadaku dengan sigap.

Aku terdiam sejenak setelahnya. Aku pun berusaha untuk mengatur ritme napasku agar aku tetap bisa waras dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan nantinya. Anehnya, saat ini aku marah. Namun, mengapa air mata malah menggenang di pelupukku?

Dengan suara yang bergetar dan dalam aku berkata, "kamu sendiri yang udah setuju untuk ketemu sama aku hari ini, sekarang ini—"

"—jadi, tolong dengarin aku baik-baik," sengaja lamat-lamat aku mengucapkannya.

Ia mengubah arah tubuhnya menjadi lurus, tepat menghadapku. Dan aku juga kembali menatap kedua matanya.

"Oke! Oke! Saya akan dengerin kamu. Seberapa lama pun saya tunggu. Tapi ayo kita cari tempat berteduh dulu, nanti gerimisnya makin besar. Saya takut kamu demam," raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

"Aku nggak masalah aku sakit. Yang penting aku udah ngomong isi hatiku ke kamu. Semuanya. Hari ini juga." Ia menatapku dalam sepersekian detik. Kemudian melepas sebelah tali tas yang menggantung di kedua bahunya tersebut, dan mulai menjelajahinya.

Rupanya ia mengeluarkan sebuah topi loreng dari dalam tasnya, dan memakaikannya dengan lembut di kepalaku.

"Aku harap kita memang punya perasaan yang sama," ujarku sambil melepas topi tersebut dan menggenggamnya dengan erat.

"Aku udah bisa nerima semua keadaan dan semuanya tentang kamu. Aku harap kita bisa lepas dari segala rasa canggung dan berhenti natap asing satu sama lain,"

"kita bisa mulai untuk ... ya, mungkin membangun sesuatu yang lebih baik daripada sekarang," senyumku mengembang, menghapus air mata yang membungkus mataku.

"Termasuk latar belakangku?" sahutnya tegas.

"Ya, ya. Aku nggak perduli dulu kamu berasal darimana. Karena sekarang kamu udah membuktikan bahwa kamu sudah berusaha menjadi lebih baik."

"Oh. Termasuk seragamku juga?"

Senyumku luntur seketika setelah mendengar pertanyaannya yang satu itu. Aku selalu tak sanggup untuk mengatakan bahwa aku bersedia menerima keadaan tersebut. Aku merasa tak mampu melawan ketakutanku sendiri. Namun aku mencintainya. Dan aku berusaha untuk bersedia menerimanya.

Apa sesulit itu mengatakan 'ya'?

Pipiku kian memanas. Tak terasa sebuah air mata lolos begitu saja dari pelupukku. Dan aku berterimakasih pada hujan, yang mungkin saja mengaburkan segalanya dan kuharap itu membuatnya tak melihat tangisanku.

Ia tersenyum samar, dan mengangguk. "Kamu sadar?—"

"— kalau diammu itu, tanda bahwa kamu belum menerima saya sepenuhnya." Ia maju selangkah dengan memberikan tatapan menusuk yang sama sekali belum pernah ia perlihatkan kepadaku.

"Kamu belum menerima saya," ujarnya, yang mungkin sudah menggores perasaanku.

"Kamu selalu ragu dan meragukan saya. Apa menurutmu saya nggak merasa terbebani dengan itu?" Tangannya tergerak menunjuk bebas.

"Saya mohon kepada kamu untuk memikirkan perasaan saya juga. Selama ini kamu selalu seperti menggantungkan saya. Saya nggak pernah paham sebenarnya gimana perasaan kamu ke saya!"

"Entah kamu memang menyukai saya atau kamu hanya menaruh iba kepada saya. Saya nggak tau itu, Rin."

"Enggak, Dam! Aku nggak—"

"Kamu seperti ingin, tapi nggak ingin. Saya tahu itu, persis."

Aku mulai menangis.

"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan hal yang sama seperti sekarang ini, dengan seragam ini pula, tapi kepadamu?" ujarnya, dengan tatapan sendu kepadaku.

"Aku minta maaf, aku nggak bermaksud—"

"Saya sudah nggak punya apapun lagi untuk memperjuangkan kamu, Rin. Saya merasa saya nggak sanggup buat dapatin hatimu. Segalanya sudah saya lakukan!"

"Jadi kamu ... nyerah?"

"Iya," jawabnya dengan cepat.

"Karena kamu terus meragukan dan membenci apa yang sudah melekat pada saya—"

"—saya rasa cukup sampai disini perjuangan saya."

Aku benar-benar tak sanggup membendungnya lagi hingga air mataku semakin menetes tanpa henti bagai hujan saat ini. Tubuhku terasa begitu lemas dan kakiku sudah tak sanggup untuk menopang tubuhku sendiri.

"Sampai jumpa, Arin. Saya harap kita tetap bisa berteman baik."

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang